16 April 2010

Penerimaan Mahasiswa Baru STAIS Kutai Timur

Sangatta (15/4), Mulai hari Kamis 15 April 2010 Sekolah Tinggi Agama Islam Sangatta (STAIS) Kutai Timur kembali membuka pendaftaran mahasiswa baru tahun akademik 2010/2011. Bagi masyarakat Kutai Timur khususnya dan masyarakat Kaltim umumnya diberi kesempatan untuk mendaftarkan diri dengan ketentuan sebagai berikut:

SYARAT-SYARAT PENDAFTARAN:
1. Mengisi formulir pendaftaran
2. Photo copy ijasah MA/SMA/SMK/Pesantren/Sederajat (legalisir) 2 lembar
3. Photo copy transkrip Nilai DANEM/SKHU (legalisir)
4. Photo copy ijasah legalisir (bagi lulusan D2/D3 Prodi PAI) (Khusus mahasiswa konversi)
5. Pas Photo terbaru warna hitam putih ukuran 3 X 4 dan 4 X 6 masing-masing 3 lembar
6. Dimasukkan map yang disediakan panitia
7. Biaya Pendaftaran Rp. 125.000,-

PELAKSANAAN UJIAN:
A. JADWAL UJIAN
1. Senin, 5 Juli 2010
Pukul 09.00 - 10.30 Wita : Pengetahuan Agam Islam
Pukul 10.45 - 12.15 Wita : Ilmu Pengetahuan Umum & Bahasa Indonesia
Pukul 12.30 - 14.00 Wita : Bahasa Arab & Bahasa Inggris

2. Selasa, 6 Juli 2010
Pukul 09.00 - 10.00 Wita : Tes Kepribadian
Pukul 10.00 s/d Selesai    : Praktek Baca Tulis Al-Qur'an

B. PENGUMUMAN HASIL UJIAN
Senin, 12 Juli 2010 di kampus STAIS Kutim atau di website www.staiskutim.ac.id
Pukul 10.00 Wita

C. DAFTAR ULANG MAHASISWA BARU
Wajib melakukan daftar ulang bagi mahasiswa yang dinyatakan lulus ujian
Tanggal 13 - 18 Juli 2010 di Kantor Administrasi STAIS Kutim

JURUSAN YANG DIBUKA:
Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)

PILIHAN KELAS:
1. Kelas Reguler Pagi
2. Kelas Reguler Sore
3. Kelas Akhir Pekan

FASILITAS:
- Bebas Biaya SPP/BOP/Uang Gedung
- Sanggar Baca GAZEBO Perpustakaan STAIS Kutim
- Laboratorium Komputer
- Ruang Internet
- Layanan Hotspot Area
- Perpustakaan Online
- Perpustakaan Digital
- Sarana Seni dan Olah Raga
- Website STAIS Kutim
- Musholla
- Koleksi Ribuan Buku Perpustakaan
- Jurnal Ilmiah "Manahij"
- Majalah Mahasiswa "Gazebo"
- Group Maulid Habsyi
- Group Rebana "An-Nahdia"

08 April 2010

Makalah Filosofi Lingkungan Pendidikan Islam


      I.        Pendahuluan
Lingkungan yang nyaman dan mendukung terselenggaranya suatu pendidikan amat dibutuhkan dan turut berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan. Demikian pula dalam sistem pendidikan Islam, lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Dalam literatur pendidikan, lingkungan biasanya disamakan dengan institusi atau lembaga pendidikan. Meskipun kajian ini tidak dijelaskan dalam al-Qur’an secara eksplisit, akan tetapi terdapat beberapa isyarat yang menunjukkan adanya lingkungan pendidikan tersebut. Oleh karenanya, dalam kajian pendidikan Islam pun, lingkungan pendidikan mendapat perhatian.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang apa dan bagaimana hakikat lingkungan pendidikan Islam, maka perlu dilakukan kajian yang komprehensif dan mendalam tentang lingkungan tersebut dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Makalah ini sengaja disusun sebagai tugas filsafat pendidikan islam yang selanjutnya akan didiskusikan dan disempurnakan dalam forum diskusi Mahasiswa Program Tarbiyah STAIS Kutai Timur semester IV. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca sehingga apa yang diharapkan dapat terpenuhi dengan baik.

    II.        Rumusan Masalah
Untuk mengetahui lebih jelas tentang apa dan bagaimana hakikat lingkungan pendidikan Islam, maka perlu dilakukan kajian yang komprehensif dan mendalam tentang lingkungan tersebut dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Berkaitan dengan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka penulis memberikan batasan/rumusan masalah sebagai berikut :
a.    Apakah pengertian Lingkungan Pendidikan Islam?
b.    Apa saja macam-macam lingkungan pendidikan islam?
c.    Bagaimanakah analisis filosofis lingkungan pendidikan Islam?

   III.        Pengertian Lingkungan Pendidikan Islam
Lingkungan pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang berlangsung. Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan Islam. Menurut Abuddin Nata, kajian lingkungan pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-macam lingkungan pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Sebagaimana yang telah disinggung di bagian pendahuluan, bahwa dalam al-Qur’an tidak dikemukakan penjelasan tentang lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali lingkungan pendidikan yang terdapat dalam praktek sejarah yang digunakan sebagai tempat terselenggaranya pendidikan, seperti masjid, rumah, sanggar para sastrawan, madrasah, dan universitas. Meskipun lingkungan seperti itu tidak disinggung secara lansung dalam al-Qur’an, akan tetapi al-Qur’an juga menyinggung dan memberikan perhatian terhadap lingkungan sebagai tempat sesuatu. Seperti dalam menggambarkan tentang tempat tinggal manusia pada umumnya, dikenal istilah al-qaryah yang diulang dalam al-Qur’an sebanyak 52 kali yang dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya. Sebagian ada yang dihubungkan dengan pendidiknya yang berbuat durhaka lalu mendapat siksa dari Allah (Q.S. 4: 72; 7:4; 17:16; 27:34) sebagian dihubungkan pula dengan penduduknya yang berbuat baik sehingga menimbulkan suasana yang aman dan damai (16:112) dan sebagian lain dihubungkan dengan tempat tinggal para nabi (Q.S. 27: 56; 7:88; 6:92). Semua ini menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting sebagai tempat kegiatan bagi manusia, termasuk kegiatan pendidikan Islam.

  IV.        Macam – Macam Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, sebab lingkungan pendidikan tersebut berfungsi menunjang terjadinya proses belajar mengajar secara aman, nyaman, tertib, dan berkelanjutan. Dengan suasana seperti itu, maka proses pendidikan dapat diselenggarakan menuju tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
Pada periode awal, umat Islam mengenal lembaga pendidikan berupa kutab yang mana di tempat ini diajarkan membaca dan menulis huruf al-Qur’an lalu diajarkan pula ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya. Begitu di awal dakwah Rasulullah SAW, ia menggunakan rumah Arqam sebagai institusi pendidikan bagi sahabat awal (assabiqunal awwalun). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam mengenal adanya rumah, masjid, kutab, dan madrasah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan, atau disebut juga sebagai lingkungan pendidikan.
Pada perkembangan selanjutnya, institusi pendidikan ini disederhanakan menjadi tiga macam, yaitu keluarga—disebut juga sebagai salah satu dari satuan pendidikan luar sekolah—sebagai lembaga pendidikan informal, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal. Ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pembinaan kepribadian peserta didik.
a.    Lingkungan Keluarga
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa keluarga merupakan bagian dari lembaga pendidikan informal. Selain itu, kelurga juga disebut sebagai satuan pendidikan luar sekolah. Pentingnya pembahasan tentang keluarga ini mengingat bahwa keluarga memiliki peranan penting dan paling pertama dalam mendidik setiap anak. Bahkan Ki Hajar Dewantara, seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata, menyebutkan bahwa keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Dalam hal ini, orang tua bertindak sebagai pendidik, dan si anak bertindak sebagai anak didik. Oleh karena itu, keluarga mesti menciptakan suasana yang edukatif sehingga anak didiknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia sebagaimana yang menjadi tujuan ideal dalam pendidikan Islam.
Agar keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara Islami, maka sebelum dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat pendukungnya. Al-Qur’an memberikan syarat yang bersifat psikologis, seperti saling mencintai, kedewasaan yang ditandai oleh batas usia tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan pengalaman untuk memikul tanggung jawab yang di dalam al-Qur’an disebut baligh. Selain itu, kesamaan agama juga menjadi syarat terpenting. Kemudian tidak dibolehkan menikah karena ada hal-hal yang menghalanginya dalam ajaran Islam, yaitu syirik atau menyekutukan Allah dan dilarang pula terjadinya pernikahan antara seorang pria suci dengan perempuan pezina. Selanjutnya, juga persyaratan kesetaraan (kafa’ah) dalam perkawinan baik dari segi latar belakang agama, sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, maka diharapkan akan tercipta keluarga yang mampu menjalankan tugasnya—salah satu di antaranya—mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang tidak lemah dan terhindar dari api neraka. Allah SWT berfirman:
Surat al-Tahrim/66 ayat 6:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Karena besarnya peran keluarga dalam pendidikan, Sidi Gazalba, seperti yang dikutip Ramayulis, mengkategorikannya sebagai lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai penanggung jawab.
Oleh karena itu, orang tua dituntut menjadi teladan bagi anak-anaknya, baik berkenaan dengan ibadah, akhlak, dan sebagainya. Dengan begitu, kepribadian anak yang Islami akan terbentuk sejak dini sehingga menjadi modal awal dan menentukan dalam proses pendidikan selanjutnya yang akan ia jalani.
Untuk memenuhi harapan tersebut, al-Qur’an juga menuntun keluarga agar menjadi lingkungan yang menyenangkan dan membahagiakan, terutama bagi anggota keluarga itu sendiri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep kelurga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Firman Allah SWT :

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. ar-Rum/30: 21)
Menurut Salman Harun, kata sakinah dalam ayat di atas diungkapkan dalam rumusan li taskunu (agar kalian memperoleh sakinah) yang mengandung dua makna: kembali dan diam. Kata itu terdapat empat kali dalam al-Qur’an, tiga di antaranya membicakan malam. Pada umumnya, malam merupakan tempat kembalinya suami ke rumah untuk menemukan ketenangan bersama istrinya. Saat itu, akan tercipta ketenangan sehingga istri sebagai tempat memperoleh penyejuk jiwa dan raga. Sementara mawaddah adalah cinta untuk memiliki dengan segenap kelebihan dan kekuarangannya sehingga di antara suami istri saling melengkapi. Sedangkan rahmah berarti rasa cinta yang membuahkan pengabdian. Kata ini memiliki konotasi suci dan membuahkan bukti, yaitu pengabdian antara suami istri yang tidak kunjung habis. Ketiga istilah inilah yang menjadi ikon keluarga bahagia dalam Islam, yaitu adanya hubungan yang menyejukkan (sakinah), saling mengisi (mawaddah), dan saling mengabdi (rahmah) antara suami dan istri.
Dengan demikian, keluarga harus menciptakan suasana edukatif terhadap anggota keluarganya sehingga tarbiyah Islamiyah dapat terlaksana dan menghasilkan tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
b.    Lingkungan Sekolah
Sekolah atau dalam Islam sering disebut madrasah, merupakan lembaga pendidikan formal, juga menentukan membentuk kepribadian anak didik yang Islami. Bahkan sekolah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati menyebutkan bahwa disebut sekolah bila mana dalam pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Secara historis keberadaan sekolah merupakan perkembangan lebih lanjut dari keberadaan masjid. Sebab, proses pendidikan yang berlangsung di masjid pada periode awal terdapat pendidik, peserta didik, materi dan metode pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan materi dan kondisi peserta didik. Hanya saja, dalam mengajarkan suatu materi, terkadang dibutuhkan tanya jawab, pertukaran pikiran, hingga dalam bentuk perdebatan sehingga metode seperti ini kurang serasi dengan ketenangan dan rasa keagungan yang harus ada pada sebagian pengunjung-pengunjung masjid.
Abuddin Nata menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada satu pun kata yang secara langsung menunjukkan pada arti sekolah (madrasah). Akan tetapi sebagai akar dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam al-Qur’an dijumpai sebanyak 6 kali. Kata-kata darasa tersebut mengandung pengertian yang bermacam-macam, di antaranya berarti mempelajari sesuatu (Q.S. 6: 105); mempelajari Taurat (Q.S. 7: 169); perintah agar mereka (ahli kitab) menyembah Allah lantaran mereka telah membaca al-Kitab (Q.S. 3: 79); pertanyaan kepada kaum Yahudi apakah mereka memiliki kitab yang dapat dipelajari (Q.S. 68: 37); informasi bahwa Allah tidak pernah memberikan kepada mereka suatu kitab yang mereka pelajari (baca) (Q.S. 34: 44); dan berisi informasi bahwa al-Quran ditujukan sebagai bacaan untuk semua orang (Q.S. 6: 165). Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah (sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan semangat al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu.
Di Indonesia, lembaga pendidikan yang selalu diidentikkan dengan lembaga pendidikan Islam adalah pesantren, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA)—dan sekolah milik organisasi Islam dalam setiap jenis dan jenjang yang ada, termasuk perguruan tinggi seperti IAIN dan STAIN. Semua lembaga ini akan menjalankan proses pendidikan yang berdasarkan kepada konsep-konsep yang telah dibangun dalam sistem pendidikan Islam.

c.    Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian penting dalam proses pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi pendidikan peserta didik yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam, masyarakat memiliki tanggung jawab dalam mendidik generasi muda tersebut.
Menurut an-Nahlawi, tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, menyadari bahwa Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/amar ma’ruf nahi munkar (Qs. Ali Imran/3: 104); kedua, dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang berbuat jahat, maka masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlaku, termasuk adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik; keempat, masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi; dan kelima, pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.
Ibn Qayyim mengemukakan istilah tarbiyah ijtimaiyah atau pendidikan kemasyarakatan. Menurutnya tarbiyah ijtimaiyah yang membangun adalah yang mampu menghasilkan individu masyarakat yang saling mencintai sebagian dengan sebagian yang lainnya, dan saling mendoakan walaupun mereka berjauhan. Antara anggota masyarakat harus menjalin persaudaraan. Dalam hal ini, ia mengingatkan dengan perkataan hikmah “orang yang cerdik ialah yang setiap harinya mendapatkan teman dan orang yang dungu ialah yang setiap harinya kehilangan teman”.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses pendidikan. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak pun, umat Islam dituntut untuk memilih lingkungan yang mendukung pendidikan anak dan menghindari masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka perkembangan kepribadian anak tersebut akan bermasalah. Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung dari masyarakat setempat dan memungkinkan terselenggaranya pendidikan tersebut.
Berpijak dari tanggung jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa melahirkan berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), wirid remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di sekitarnya.
Mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di dalamnya. Di Indonesia sendiri dikenal adanya konsep pendidikan berbasis masyarakat (community basid education) sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan penyelenggaraan lembaga pendidikan formal (sekolah), akan tetapi dengan konsep ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan serta keberadaannya sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal.

   V.        Analisis Filosofis Lingkungan Pendidikan Islam
Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, maka ketiga lembaga atau lingkungan pendidikan di atas perlu bekerja sama secara harmonis. Orang tua di tingkat keluarga harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya, terutama dalam aspek keteladanan dan pembiasaan serta penanaman nilai-nilai. Orang tua juga harus menyadari tanggung jawabnya dalam mendidik anak-anaknya tidak sebatas taat beribadah kepada Allah semata, seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah khusus lainnya, akan tetapi orang tua juga memperhatikan pendidikan bagi anaknya sesuai dengan tujuan pendidikan yang ada dalam Islam. Termasuk di antaranya mempersiapkan anaknya memiliki kemampuan/ keahlian sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai hamba Allah sekaligus sebagai khalifah fil ardhi serta menemukan kebahagiaan yang hakiki, dunia akhirat. Selain itu, orang tua juga dituntut untuk mempersiapkan anaknya sebagai anggota masyarakat yang baik, sebab, masyarakat yang baik berasal dari individu-individu yang baik sebagai anggota dari suatu komunitas masyarakat itu sendiri. Mengenai hal ini, Allah SWT juga telah menegaskan dalam penggalan Q.S Ar-Ra’du ayat 11:
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. ar-Ra’du/13: 11)
Menyadari besarnya tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak, maka orang tua juga seyogyanya bekerja sama dengan sekolah atau madrasah sebagai lingkungan pendidikan formal untuk membantu pendidikan anak tersebut. Dalam hubungannya dengan sekolah, orang tua mesti berkoordinasi dengan baik dengan sekolah tersebut, bukan malah menyerahkan begitu saja kepada sekolah. Sebaliknya, pihak sekolah juga menyadari bahwa peserta didik yang ia didik merupakan amanah dari orang tua mereka sehingga bantuan dan keterlibatan orang tua sangat dibutuhkan. Kemudian sekolah juga harus mampu memberdayakan masyarakat seoptimal mungkin, dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan yang diterapkan.
Begitu pula masyarakat pada umumnya, harus menyadari pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang dimulai dari tingkat keluarga hingga kepada sekolah serta lembaga-lembaga pendidikan non formal lainnya dalam upaya pencerdasan umat. Sebab antara pendidikan dengan peradaban yang dihasilkan suatu masyarakat memiliki korelasi positif, semakin berpendididikan suatu masyarakat maka semakin tinggi pula peradaban yang ia hasilkan; demikian sebaliknya.
Jadi, dibutuhkan pendidikan terpadu antara ketiga lingkungan pendidikan tersebut. Dengan keterpaduan ketiganya diharapkan pendidikan yang dilaksanakan mampu mewujudkan tujuan yang diinginkan. Pendidikan terpadu seperti inilah yang diinginkan dalam perspektif pendidikan Islam. Bahkan prinsip integral (terpadu) menjadi salah satu prinsip dalam sistem pendidikan Islam. Prinsip ini tentu tidak hanya keterpaduan antara dunia dan akhirat, individu dan masyarakat, atau jasmani dan rohani; akan tetapi keterpaduan antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat juga termasuk di dalamnya.

  VI.        Penutup
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan pendidikan sangat berperan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, sebab lingkungan yang juga dikenal dengan institusi itu merupakan tempat terjadinya proses pendidikan. Secara umum lingkungan tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga yang ideal dalam perspektif Islam adalah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Profil keluarga semacam ini sangat diperlukan pembentukannya sehingga ia mampu mendidik anak-anaknya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Kemudian orang tua harus menyadari pentingnya sekolah dalam mendidik anaknya secara profesional sehingga orang tua harus memilih pula sekolah yang baik dan turut berpartisipasi dalam peningkatan sekolah tersebut.
Sementara sekolah atau madrasah juga berperan penting dalam proses pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang pada hakikatnya sebagai institusi yang menyandang amanah dari orang tua dan masyarakat, harus menyelenggarakan pendidikan yang profersional sesuai dengan prinsip-prinsip dan karakteristik pendidikan Islam. Sekolah harus mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian bagi peserta didiknya sesuai dengan kemampuan peserta didik itu sendiri.
Begitu pula masyarakat, dituntut perannya dalam menciptakan tatanan masyarakat yang nyaman dan peduli terhadap pendidikan. Masyarakat diharapkan terlibat aktif dalam peningkatan kualitas pendidikan yang ada di sekitarnya. Selanjutnya, ketiga lingkungan pendidikan tersebut harus saling bekerja sama secara harmonis sehingga terbentuklah pendidikan terpadu yang diikat dengan ajaran Islam. Dengan keterpaduan seperti itu, diharapkan amar ma’ruf nahi munkar dalam komunitas masyarakat tersebut dapat ditegakkan sehingga terwujudlah masyarakat yang diberkahi dan tatanan masyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.

DAFTAR PUSTAKA


Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1991

Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1999

Depdiknas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

an-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Penj. Shihabuddin,(Jakarta: Gema Insani Press, 1995

Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Kalam Mulia, 2002

Makalah Kegiatan Pendukung Bimbingan Konseling


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari keseluruhan program pendidikan. Program bimbingan menunjang tercapainya tujuan pendidikan yaitu perkembangan individu secara optimal. Oleh karena itu, kegiatan bimbingan dan konseling harus diselenggarakan dalam bentuk kerjasama sejumlah orang untuk mencapai suatu tujuan. Kegiatan itu harus diselenggarakan secara teratur, sistematik dan terarah atau berencana, agar benar-benar berdaya dan berhasil guna bagi pertumbuhan dan perkembangan siswa.
Bimbingan konseling adalah salah satu komponen yang penting dalam proses pendidikan sebagai suatu sistem. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang bahwa proses pendidikan adalah proses interaksi antara masukan alat dan masukan mentah. Masukan mentah adalah peserta didik, sedangkankan masukan alat adalah tujuan pendidikan, kerangka, tujuan dan materi kurikulum, fasilitas dan media pendidikan, system administrasi dan supervisi pendidikan, sistem penyampaian, tenaga pengajar, sistem evaluasi serta bimbingan konseling.
Bimbingan merupakan bantuan kepada individu dalam menghadapi persoalan-persoalan yang dapat timbul dalam hidupnya. Bantuan semacam itu sangat tepat jika diberikan di sekolah, supaya setiap siswa lebih berkembang ke arah yang semaksimal mungkin. Dengan demikian bimbingan menjadi bidang layanan khusus dalam keseluruhan kegiatan pendidikan sekolah yang ditangani oleh tenaga-tenaga ahli dalam bidang tersebut.
Dalam konteks pemberian layanan bimbingan konseling, bahwa pemberian layanan bimbingan konseling meliputi layanan orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, dan konseling kelompok.
 Dalam ketujuh layanan bimbingan konseling tersebut dilakukan agar setiap permasalahan yang dihadapi siswa dapat diantisipasi sedini mungkin sehingga tidak menggangu jalannya proses pembelajaran. Dengan demikian siswa dapat mencapai prestasi belajar secara optimal tanpa mengalami hambatan dan permasalahan pembelajaran yang cukup berarti.
Realitas di lapangan, menunjukkan bahwa peran guru kelas dalam pelaksanaan bimbingan konseling belum dapat dilakukan secara optimal mengingat tugas dan tanggung jawab guru kelas yang sarat akan beban sehingga tugas memberikan layanan bimbingan konseling kurang membawa dampak positif bagi peningkatan prestasi belajar siswa.
Dalam Pedoman Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Bimbingan Konseling tersirat bahwa suatu sistem layanan bimbingan dan konseling berbasis kompetensi tidak mungkin akan tercipta dan tercapai dengan baik apabila tidak adanya kegiatan pendukung bimbingan dan konseling. Artinya, hal itu perlu dilakukan secara jelas, sistematis, dan terarah, tidak hanya dengan layanan saja, tetapi harus ada kegiatan pendukungnya.
Berdasar latar belakang tersebut di atas, penulis tergerak untuk melakukan telaah mengenai kegiatan pendukung bimbingan dan konseling.

B.   Identifikasi Masalah
1).  Pengertian Kegiatan Pendukung
2).  Macam – Macam Kegiatan Pendukung Bimbingan dan Konseling
 
C.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka persoalan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah bagaimana sebetulnya tujuan dari 5 aspek kegiatan pendukung yang dilakukan?

 BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pembahasan Pokok Bahasan
1.    Pengertian Kegiatan Pendukung bimbingan dan konseling
Kegiatan pendukung bimbingan dan konseling adalah usaha untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang diri peserta didik (klien) dan  keterangan tentang lingkungannya, baik itu di lingkungan keluarga, sekolah, ataupun dilingkungan sekitarnya.
Kegiatan ini dimaksudkan agar para pembimbing dan dosen lebih mudah memahami potensi dan kekuatan, serta masalah yang dihadapi klien. dengan kegiatan pendukung ini diharapkan akan terkumpul data-data yang akurat yang dihadapi oleh seorang klien.

2.    Macam – Macam Kegiatan Pendukung Bimbingan dan Konseling
Untuk menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung Dalam hal ini, terdapat lima jenis kegiatan pendukung bimbingan dan konseling, yaitu:
a.    Aplikasi Instrumentasi
Aplikasi Instrumentasi adalah  upaya pegungkapan melalui pengukuran dengan memakai alat ukur atau instrument tertentu. Hasil aplikasi ditafsirkan, disikapi dan digunakan untuk memberikan perlakuan terhadap klien dalam  bentuk layanan konseling.
Aplikasi instrumentasi digunakan dan mendukung penyelenggaraan jenis-jenis layanan dan kegiatan pendukung  mulai dari perencanaan program, penetapan inidividu, menetapkan materi layanan, sebagai  bahan evaluasi dan pengembangan program.
Yang perlu diperhatikan dalam aplikasi instrumentasi ini adalah: a). Materi yang hendak diungkapkan, b). bentuk instrument yang hendak digunakan. Dan juga dibantu dengan responden yang bertugas untuk  mengerjakan instrument baik tes maupun non-tes[1] melalui pengadministrasi yang diselenggarakan oleh Konselor.
Konselor sebagai pengguna hasil instrument  digunakan dalam melaksanakan layanan konseling. Untuk tes psikologis Konselor dapat  bekerjasama dengan psikolog (kolaborasi professional).
Aplikasi instrumentasi digunakan dan mendukung penyelenggaraan jenis-jenis layanan dan kegiatan pendukung  mulai dari perencanaan program, penetapan inidividu, menetapkan materi layanan, sebagai  bahan evaluasi dan pengembangan program.
Operasionalisasi dalam kegiatan ini adalah
1)    Perencanaan
Menetapkan objek  yang akan diukur, menetapkan subjek, menetapkan/menyusun instrument, menetapkan prosedur, menetapkan fasilitas, menyiapkan kelengkapan administrative.
2)    Pelaksanaan
Mengkomunikasikan rencana pelaksanaan aplikasi instrumentasi, mengorganisasikan kegiatan instrument, pengadministrasi, mengolah jawaban intrumen, menafsirkan dan menetapkan arah penggunaan hasil intrumen.
3)    Eveluasi dan Analisis
Menetapkan materi evaluasi, menetapkan prosedur, melaksanakan evaluasi dan mengolah serta menafsirkan hasil evaluasi. Serta menganalisis dengan Menetapkan norma/standar analisis, melakukan asanalisis dan menafsirkan hasil analisis.
4)    Tindak Lanjut
Menetapkan jenis dan arah tindak lanjut aplikasi instrumentasi, mengkomunikasikan  rencana tindak lanjut dan melaksanakan tindak lanjut. Dan juga menyusun laporan aplikasi instrumentasi, menyampaikan laporan dan mendokumentasi laporan.
b.    Himpunan Data
Himpunan data adalah kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik. Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematik, komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup. Kegiaran ini memiliki fungsi pemahaman.
Konselor sebagai penyelenggara Himpunan data memiliki fungsi:  Menghimpun data, mengembangkan data dan menggunakan data
Operasionalisasi dalam kegiatan ini adalah
1)    Perencanaan
Menetapkan jenis dan klasifikasi data serta sumber-sumbernya, menetapkan  bentuk himpunan data, menetapkan dan manata fasilitas, menetapkan mekanisme pengisian, pemeliharaan dan penggunaan serta menyiapkan kelengkapan administrative.
2)    Pelaksanaan
Memetik dan memasukkan ke dalam HD sesuai dengan klasifikasi, memanfaatkan data, memelihara dan mengembangkan HD.
 3)    Evaluasi dan Analisis
Mengkaji evisiensi sistematika dan penggunaan fasilitas  yang digunakan, memerikasa kelengkapan, keakuratan, keaktualan dan kemanfaatan HD, serta melaksanakan analisis terhadap hasil evaluasi berkenaan dengan kelengkapan, keakuratan, keaktualan, kemanfaatan dan efisiensi penyelenggaraannya.
4)    Tindak Lanjut
Dalam hal ini adalah mengembangkan himpunan data yang  mencakup: bentuk, klasifikasi dan sistematika data, kelengkapan, keakuratan, ketepatan dan keaktualan data, kemanfaatan data, Penggunaan teknologi. Data yang terhimpun harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling[2].   Teknis penyelenggaraan serta menyusun laporan HD, menyampaikan laporan dan mendokumentasi laporan.
c.    Konfrensi Kasus
Konferensi kasus adalah kegiatan untuk membahas permasalahan peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup. Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak yang terkait dan memiliki pengaruh kuat terhadap klien dalam rangka pengentasan permasalahan klien. Kegiatan konferensi kasus memiliki fungsi pemahaman dan pengentasan serta tidak menyinggung klien[3].
Operasionalisme dalam kegiatan ini adalah :
1)    Perencanaan
Konferensi kasus harus dibicarakan terlebih dahulu dan mendapat persetujuan dari klien yang bermasalah. Dan seluruh peserta pertemuan harus diyakinkan oleh konselor dan memiliki sikap yang teguh untuk merahasiakan segenap aspek dari kasus yang dibicarakan.
2)    Pelaksanaan
Konselor harus mengarahkan pembicaraan sehingga seluruh peserta dapat mengemukakan data atau keterangan yang mereka ketahui dan mengembangkan pikiran untuk memecahkan masalah siswa[4].
3)    Analisis dan Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari konferensi kasus yang sukses apabila konselor memperoleh data atau keterangan tambahan yang amat berarti bagi pemecahan masalah siswa dan terbangunnya komitmen seluruh peserta pertemuan untuk menyokong upaya pengentasan masalah siswa.
4)    Tindak Lanjut
Seluruh hasil pertemuan dicatat dan didokumentasikan secara rapi oleh konselor dan sebanyak-banyaknya dipergunakan untuk menunjang jenis-jenis layanan masalah siswa yang bersangkutan.
d.    Kunjungan Rumah
Kunjungan rumah merupakan kegiatan untuk memperoleh data, keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta didik melalui kunjungan rumah klien. Kerja sama dengan orang tua sangat diperlukan, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak orang tua/keluarga untuk mengentaskan permasalahan klien. Kegiatan kunjungan rumah memiliki fungsi pemahaman dan pengentasan.
Dalam hal ini Kasus Diidentifikasi terlebih dahulu dan dianalisis perlu tidak diadakannya Kunjungan Rumah sebagai tindak lanjut dari penanganan kasus tersebut. KR menjangkau lapangan permasalahan klien  yang  menjangkau kehidupan keluarga dan terlaksanakan yaitu menghubungi  pihak-pihak terkait dengan keluarga. Materi yang perlu diperhatikan dihadapan orang tua tidak boleh melanggar asas kerahasiaan klien, dan intinya semata-mata  untuk memperdalam masalah klien, serta tidak merugikan klien. Peran klien sendiri sangat penting dalam kegiatan ini, yaitu klien menyetujui Kunjungan Rumah yang akan dilakukan konselor dan  mempertimbangkan perlu tidaknya ia terlibat saat kunjungan rumah.
Operasionalisasi dalam kegiatan ini adalah
1)    Perencanaan
Menetapkan kasus yang memerlukan KR, meyakinkan klien akan KR, menyiapkan  data dan informasi yang akan dikomunikasikan dengan keluarga, menetapkan materi KR dan meyiapkan kelengkapan administrasi.
2)    Pelaksanaan
Pelaksanaannya adalah mengkomunikasikan rencana pelaksanaan KR, melakukan KR berupa: Bertemu anggota  keluarga (ortu/wal), Membahas masalah klien, Melengkapi data, Mengembangkan komitmen, Menyelenggarakan konseling keluarga , dan merekam dan menyimpulkan hasil KR
3)    Evaluasi dan Analisis
Mengevaluasi proses pelaksanaan KR, mengevaluasi kelengkapan dan keakurautan data hasil KR serta komitmen ortu/wali, mengevaluasi penggunaan data dalam rangka pengentasan  masalah klien. Dan menganalisis  terhadap efektifitas penggunaan hasil KR terhadap penanganan kasus.
4)    Tindak Lanjut
Tindakan selanjutnya adalah mempertimbangkan apakah perlu dilaksanakan KR ulang atau lanjutan dan mempertimbangkan tindak  lanjut layanan dengan menggunakan  hasil KR  yang lebih lengkap dan akurat. Serta menyusun laporan KR,  menyampaikan laporan dan mendokumentasi laporan.
e.    Alih Tangan Kasus
Alih tangan kasus merupakan kegiatan untuk untuk memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dialami klien dengan memindahkan penanganan kasus ke pihak lain yang lebih kompeten, seperti kepada guru mata pelajaran atau konselor, dokter serta ahli lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dihadapinya melalui pihak yang lebih kompeten. Fungsi kegiatan ini adalah pengentasan[5].
Sebelum di-ATK-kan maka Konselor hendaknya memperhatikan keadaan kenormalan klien dan subtansi masalah klien. Yang harus dipertimbangkan dalam Alih tangan kasus ini adalah karena masalah yang  ada  bukan lagi wewenang Konselor. Konselor  melakukan kontak awal dengan ahli lain, melalui cara yang  cepat dan tepat. Jika ditanggapi positif oleh ahli lain yang dihubungi, maka klien  bertemu dengan ahli lain tersebut dengan membawa surat pengantar jika diperlukan.
Operasionalisasi yang perlu dilakukan dalam Alih tangan kasus ini adalah
1)    Perencanaan
Menetapkan kasus yang akan di ATK, meyakinkan klien akan ATK, menghubung ahli lain yang menjadi arah ATK, menyiapkan   materi ATK dan kelengkapan administratif.
2)    Pelaksanaan
Mengkomunikasikan rencana ATK kepada pihak terkait dan mengalihtangankan klien kepada pihak terkait itu.
3)    Evaluasi dan Analisis
Membahas hasil ATK  melalui: Klien, laporan dari ahli lain dan analisis hasil ATK  kemudian mengkaji hasil ATK terhadap  pengentasan  masalah klien. Serta Melakukan analisis terhadap efektifitas ATK terhadap pengentsan  masalah  klien secara menyeluruh.
4)    Tindak Lanjut
Tindak lanjut yang dilakukan adalah menyelenggarakan layanan lanjutan oleh konselor jika diperlukan atau klien memerlukan ATK ke ahli lain lagi. Serta Menyusun laporan kegiatan ATK,  menyampaikan laporan dan mendokumentasi laporan.

B.   Analisa Masalah
Dijelaskan bahwa tujuan dari beberapa pokok kegiatan pendukung yang tersebut diatas adalah ada dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan Khusus. Yang dijelaskan sebagai berikut
 1.    Aplikasi instrumentasi
v  Tujuan umum
Diperolehnya data hasil pengukuran terhadap kondisi tertentu klien.
v  Tujuan Khusus
Terkait dengan fungsi-fungsi konseling  yang didominasi oleh fungsi pemahaman. Dengan diperolehnya pemahaman, maka dapat diwujudkan fungsi pencegahan dan pengentasan. Dilain sisi, maka akan diperoleh juga fungsi pengembangan dan pemeliharaan.
2.    Himpunan Data
v  Tujuan Umum
Menyediakan data dalam  kualitas yang baik dan lengkap untuk menunjang penyelenggaraan pelayanan konseling sesuai dengan kebutuhan sasaran layanan.
v  Tujuan Khusus
Didominasi oleh fungsi pemahaman terhadap individu yang datanya  dihimpun. Ini akan mewujudkan fungsi pencegahan dan dapat pula fungsi pengentasan terhadap  masalah individu. Lebih jauh, himpunan data ini dapat dijadikan  bahan dalam melaksanakan fungsi pengembangan dan  pemeliharaan dan dapatjuga digunakan dalam melindungi hak-hak individu yang sedang mengalami masalah HAM.
3.    Konferensi Kasus
v  Tujuan Umum
Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak yang terkait dan memiliki pengaruh kuat terhadap klien dalam rangka pengentasan permasalahan klien.
v  Tujuan Khusus
Diperolehnya gambaran yang lebih jelas, mendalam dan menyeluruh tentang permasalahan yang dihadapi oleh siswa. Dan terkomunikasinya sejumlah aspek permasalahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan sehingga penanganan permasalahan menjadi lebih mudah dan tuntas.
4.    Kunjungan Rumah
v  Tujuan Umum
Diperolehnya data yang lebih lengkap dan akurat berkenaan dengan  masalah klien serta digalangnya komitmen  orangtua atau anggota keluarga lainnya dalam rangka penyelesaian masalah.
v  Tujuan Khusus
Agar terpahaminya permasalahan klien dan upaya pengentasannya. Dari ini dapat mencegah timbulnya  masalah lagi serta dapat berlanjut untuk mewujudkan fungsi pengembangan dan pemeliharaan serta advokasi.
5.    Alih Tangan Kasus
v  Tujuan Umum
Klien mendapat layanan yang optimal  atas  masalah yang dialaminya.
v  Tujuan Khusus
Terwujudnya keempat fungsi konseling  tarutama dalam upaya  pengentasan  masalah klien. Layanan ini juga mewujudkan upaya pemahaman dan pencegahan serta pengembangan dan pemeliharaan.

BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Kegiatan pendukung bimbingan dan konseling adalah usaha untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang diri peserta didik (klien) dan  keterangan tentang lingkungannya, baik itu di lingkungan keluarga, sekolah, ataupun dilingkungan sekitarnya.
Untuk menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung Dalam hal ini, terdapat lima jenis kegiatan pendukung bimbingan dan konseling, yaitu:
1.    Aplikasi Instrumentasi,
Adalah  upaya pegungkapan melalui pengukuran dengan memakai alat ukur atau instrument tertentu. Hasil aplikasi ditafsirkan, disikapi dan digunakan untuk memberikan perlakuan terhadap klien dalam  bentuk layanan konseling.
2.    Himpunan data,
Adalah kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik. Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematik, komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup. Kegiaran ini memiliki fungsi pemahaman.
3.    Konferensi kasus,
Adalah kegiatan untuk membahas permasalahan peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup. Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak yang terkait dan memiliki pengaruh kuat terhadap klien dalam rangka pengentasan permasalahan klien. Kegiatan konferensi kasus memiliki fungsi pemahaman dan pengentasan.
4.    Kunjungan rumah,
merupakan kegiatan untuk memperoleh data, keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta didik melalui kunjungan rumah klien. Kerja sama dengan orang tua sangat diperlukan, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak orang tua/keluarga untuk mengentaskan permasalahan klien. Kegiatan kunjungan rumah memiliki fungsi pemahaman dan pengentasan.
5.    Alih Tangan Kasus
Merupakan kegiatan untuk untuk memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dialami klien dengan memindahkan penanganan kasus ke pihak lain yang lebih kompeten, seperti kepada guru mata pelajaran atau konselor, dokter serta ahli lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dihadapinya melalui pihak yang lebih kompeten. Fungsi kegiatan ini adalah pengentasan.
Sementara itu tujuan dari kegiatan pendukung bimbingan konseling ini adalah diperolehnya data – data yang akurat dan baik demi mewujudkan terselesaikannya masalah – masalah yang dihadapi klien dan juga pemahaman terhadap layanan bimbingan dan konseling.

B.   Saran-Saran
Saran yang ingin penulis kemukakan dalam kegiatan pendukung bimbingan dan konseling ini adalah antara konselor dan klien harus sungguh-sungguh dalam pemecahan masalah-masalah yang dihadapai klien, demi kepentingan pribadi klien dan konselor tersebut. Setiap kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan perencanaan yang disetujui.
DAFTAR PUSTAKA

Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.

Dewa Ketut Sukardi, Drs, MBA, MM, 2006, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta

Drs. Ridwan, M.Pd. Penanganan Efektif. Bimbingan dan Konseling Di Sekolah. Penerbit  Pustaka Pelajar.


[1] Drs. Dewa Ketut Sukardi, MB, MM. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan
   Konseling Di Sekolah. Penerbit Rineka Cipta, 2006 Hal. 74
[2] Drs. Dewa Ketut Sukardi, MB, MM. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan
   Konseling Di Sekolah. Penerbit Rineka Cipta, 2006 Hal. 78
[3] Drs. Ridwan, M.Pd. Penanganan Efektif. Bimbingan dan Konseling Di Sekolah. Penerbit
   Pustaka Pelajar. Hal. 91
[4] Drs. Dewa Ketut Sukardi, MB, MM. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan
   Konseling Di Sekolah. Penerbit Rineka Cipta, 2006 Hal. 83
[5] Drs. Dewa Ketut Sukardi, MB, MM. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan
   Konseling Di Sekolah. Penerbit Rineka Cipta, 2006 Hal. 74