29 Mei 2010

Hikmah Berbakti Kepada Kedua Orang Tua

Selain seorang nabi, Sulaiman a.s. juga seorang raja terkenal. Atas izin Allah ia berhasil menundukkan Ratu Balqis dengan jin IfritNya. Dia dikenal sebagai manusia boleh berdialog dengan segala binatang. Dikisahkan, Nabi Sulaiman sedang berkelana antara langit dan bumi hingga tiba di satu samudera yang bergelombang besar. Untuk mencegah gelombang, ia cukup memerintahkan angin agar tenang, dan tenang pula samudera itu.
Kemudian Nabi Sulaiman memerintahkan jin Ifrit menyelam ke samudera itu sampai ke dasarnya. Di sana jin Ifrit melihat sebuah kubah dari permata putih yang tanpa lubang, kubah itu diangkatnya ke atas samudera dan ditunjukkannya kepada Nabi Sulaiman.
Melihat kubah tanpa lubang penuh permata dari dasar laut itu Nabi Sulaiman menjadi terlalu heran, “Kubah apakah gerangan ini?” fikirnya. Dengan minta pertolongan Allah, Nabi Sulaiman membuka tutup kubah. Betapa terkejutnya dia begitu melihat seorang pemuda tinggal di dalamnya.
“Sipakah engkau ini? Kelompok jin atau manusia?” tanya Nabi Sulaiman keheranan.
“Aku adalah manusia”, jawab pemuda itu perlahan.
“Bagaimana engkau boleh memperolehi karomah semacam ini?” tanya Nabi Sulaiman lagi.
Kemudian pemuda itu menceritakan riwayatnya sampai kemudian memperolehi karomah dari Allah boleh tinggal di dalam kubah dan berada di dasar lautan.
Diceritakan, ibunya dulu sudah tua dan tidak berdaya sehingga dialah yang memapah dan menggendongnya ke mana jua dia pergi. Si anak selalu berbakti kepada orang tuanya, dan ibunya selalu mendoakan anaknya. Salah satu doanya itu, ibunya selalu mendoakan anaknya diberi rezeki dan perasaan puas diri. Semoga anaknya ditempatkan di suatu tempat yang tidak di dunia dan tidak pula di langit.
“Setelah ibuku wafat aku berkeliling di atas pantai. Dalam perjalanan aku melihat sebuah kubah terbuat dari permata. Aku mendekatinya dan terbukalah pintu kubah itu sehingga aku masuk ke dalamnya.” Tutur pemuda itu kepada Nabi Sulaiman.
Nabi Sulaiman yang dikenali boleh berjalan di antara bumi dan langit itu menjadi kagum terhadap pemuda itu.
“Bagaimana engkau boleh hidup di dalam kubah di dasar lautan itu?” tanya Nabi Sulaiman ingin mengetahui lebih lanjut.
“Di dalam kubah itu sendiri, aku tidak tahu di mana berada. Di langitkah atau di udara, tetapi Allah tetap memberi rezeki kepadaku ketika aku tinggal di dalam kubah.”
“Bagaimana Allah memberi makan kepadamu?”
“Jika aku merasa lapar, Allah menciptakan pohon di dalam kubah, dan buahnya yang aku makan. Jika aku merasa haus maka keluarlah air yang teramat bersih, lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu.”
“Bagaimana engkau mengetahui perbedaan siang dan malam?” tanya Nabi Sulaiman a.s yang merasa semakin heran.
“Bila telah terbit fajar, maka kubah itu menjadi putih, dari situ aku mengetahui kalau hari itu sudah siang. Bila matahari terbenam kubah akan menjadi gelap dan aku mengetahui hari sudah malam.” Tuturnya.
Selesai menceritakan kisahnya, pemuda itu lalu berdoa kepada Allah, maka pintu kubah itu tertutup kembali, dan pemuda itu tetap tinggal di dalamnya. Itulah keromah bagi seorang pemuda yang berbakti kepada kedua orang tuanya.

Mendamba Pemimpin Sejati

Jika dulu, para sahabat Radhiyallahu 'Anhu sangat takut untuk dipilih menjadi seorang pemimpin, maka sekarang, ada banyak orang berlomba-lomba menjadi pemimpin. Semua mengaku terbaik!

Benar sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
"Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR. Al-Bukhari).

Memilih pemimpin bukanlah perkara sepele, sebab kandidat yang terpilih itulah yang akan membawa label pemimpin rakyat untuk membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang menentukan nasib jutaan jiwa umat. Suka tidak suka, kandidat yang terpilih itulah yang kemudian akan menorehkan tinta sejarah di negeri ini. Meskipun torehan itu masih tanda tanya besar, apakah akan menjadi tinta emas yang senantiasa dikenang atau tinta hitam yang senantiasa diratapi. Mampukah ia menjadi pemimpin sejati, atau justru menjadi pemimpin yang menghianati amanat rakyat.
Pemimpin merupakan lambang kekuatan, keutuhan, kedisiplinan dan persatuan. Namun harus kita sadari juga bahwa pemimpin bukanlah hanya sekadar lambang. Karena itu, ia memerlukan kompetensi, kelayakan dan aktivitas yang prima untuk memimpin bawahannya.
Melihat esensi kepemimpinan, sebagai seorang Muslim, tentu tidak bisa sembarangan dalam memilih pemimpin. Jangan sampai perilaku “memilih kucing dalam karung” menghantui kita.


PERAN SEORANG PEMIMPIN



Menurut perspektif Islam ada dua peran yang dimainkan oleh seorang pemimpin:


1. Pelayan (khadim)
Pemimpin adalah pelayan bagi pengikutnya. Seorang pemimpin yang dimuliakan orang lain, belum tentu hal tersebut sebagai tanda kemuliaan. Karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa berkhidmat dan menjadi pelayan bagi kaumnya.
Seorang pemimpin sejati, mampu meningkatkan kemampuan dirinya untuk memuliakan orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak, dia bekerja lebih keras, dia berpikir lebih kuat, lebih lama dan lebih mendalam dibanding orang yang dipimpinnya.
Demikianlah pemimpin sejati yang dicontohkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang-orang yang dipimpinnya.


2. Pemandu (muwajjih)
Pemimpin adalah pemandu yang memberikan arahan pada pengikutnya untuk menunjukkan jalan yang terbaik agar selamat sampai di tujuan tentu saja itu baru tercapai dengan sempurna jika di bawah naungan syariat Islam.


KARAKTERISTIK PEMIMPIN DALAM ISLAM



Perlu disadari, dalam memilih pemimpin ada tanggung jawab yang akan dipikul di hadapan Allah terhadap pilihan kita. Di sinilah pentingnya seorang pemilih mengenal calon pemimpinnya. Agar bisa mengetahui kesesuaiannya dengan karakter pemimpin ideal yang diatur oleh Islam. Kalau ternyata sesuai, maka jangan sungkan memberikan suara.
Di antara karakteristik pemimpin dalam Islam, yaitu:


1. Jujur
Pemimpin Islam haruslah jujur kepada dirinya sendiri dan pengikutnya. Seorang pemimpin yang jujur akan menjadi contoh terbaik. Pemimpin yang perkataan dengan perbuatannya senantiasa sejalan.


2. Kompeten
Kompotensi dalam bidangnya mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin Islam. Orang akan mengikuti seseorang jika ia benar-benar meyakini bahwa orang yang diikutinya benar-benar tahu apa yang sedang diperbuatnya.


3. Inspiratif
Seorang pengikut akan merasakan 'aman' jika pemimpinnya membawanya pada rasa nyaman dan menimbulkan rasa optimis seburuk apa pun situasi yang sedang dihadapi.


4. Sabar
Pemimpin Islam haruslah sabar dalam menghadapi segala macam persoalan dan keterbatasan, serta tidak bertindak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.


5. Rendah hati
Seorang pemimpin Islam hendaklah memiliki sikap rendah hati. Tidak suka menampakkan kelebihannya (riya) serta tidak merendahkan orang lain.


6. Musyawarah
Dalam menghadapi setiap persoalan, seorang pemimpin Islam haruslah menempuh jalan musyawarah serta tidak menentukan keputusan sendiri.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa'di—rahimahullah—mengatakan, "Jika Allah mengatakan kepada Rasul-Nya—padahal beliau adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling banyak ilmunya dan paling banyak idenya, "Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (QS. Ali Imran: 159). Maka bagaimana dengan yang selain beliau?"


7. Mampu berkomunikasi dengan rakyatnya
Kapasitas ilmiah serta empati dan rasa sensitivitas yang baik akan mereka yang dipimpinnya, pada akhirnya akan melahirkan seorang pemimpin yang mampu berkomunikasi dengan baik kepada rakyatnya. Komunikasi yang baik kepada rakyatnya bukanlah sekadar kemampuan retorika yang baik, tetapi juga kemampuan memilih hal yang akan dilempar kepada publik serta timing yang tepat dalam melemparkannya. Kematangan seorang pemimpin akan membuatnya mampu berkomunikasi yang jauh dari sikap emosional. Dan yang terpenting dari semua itu adalah sang pemimpin akhirnya mampu mengambil sebuah kebijakan yang tepat dalam sebuah kondisi yang memang dibutuhkan oleh rakyat yang dipimpinnya.

RAHASIA KEKUATAN PEMIMPIN




1. Kekuatan iman, ilmu, dan wawasan yang luas
Seluruh nabi dan rasul memimpin dengan kekuatan iman dan ilmu. Nabi Sulaiman Alaihissalam memerintah hampir seluruh makhluk (seperti jin, binatang, angin) dengan ilmu dan keimanan yang kuat. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam dapat menyelesaikan berbagai masalah dengan ilmu dan keimanan yang kuat. Dengan ilmu dan iman seorang pemimpin sanggup memimpin dirinya (seperti memimpin matanya, hatinya, lidahnya, pikiran dan hawa nafsunya) sebelum memimpin orang lain.


2. Ibadah dan taqarrub kepada Allah.
Ibadah dan banyak bertaqarrub kepada Allah, dapat melahirkan kewibaan, ketawadhuan, kesabaran, optimisme, dan tawakkal. Ibadah dan taqarrub juga akan melahirkan kekuatan ruhaniyah yang dahsyat.


3. Keteladanan.
Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengajak jihad, beliau bertempur paling depan, bersedekah paling ringan dan hidup paling bersahaja. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallammenyuruh bertahajud, beliaulah yang kakinya bengkak karena banyak bertahajjud. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menghimbau umatnya untuk berhias dengan akhlak mulia, beliaulah manusia yang paling mulia akhlaknya.


KARAKTERISTIK PENGIKUT DALAM ISLAM



1. Taat
Seorang pengikut harus patuh kepada pemimpin. Setelah pemimpin dipilih lewat jalan musyawarah maka wajib bagi pengikutnya (yang menang dan yang kalah untuk taat kepadanya, kecuali sang pemimpin telah melanggar ketentuan Allah dan membuat kerusakan).


2. Dinamis dan kritis
Seorang pengikut harus dinamis dan kritis dalam mengikuti kepemimpinan seseorang. Islam tidak mengajarkan suatu ketundukan buta atau sekadar ikut-ikutan. 


PENUTUP

Bagi pemimpin dan calon pemimpin masa depan, amanah yang Anda emban bukanlah suatu kemegahan dan kebanggaan. Bahkan demi mengingat beratnya beban amanah, Khalifah Umar bin Khaththab memberikan sebuah ungkapan, "Saya sudah cukup senang jika dapat keluar dari dunia ini dengan impas; tidak mendapat dosa dan tidak pula mendapat pahala."


Maka jadikanlah janji Allah memasukan pemimpin yang adil dalam surga-Nya sebagai sumber energi hidup Anda.


Dan bagi yang akan memberikan pilihan dan selanjutnya akan dipimpin, marilah kita sadari bahwa kesempatan kita hanya sekali untuk melakukan pilihan dengan tepat. Setelah itu, kemampuan kita dalam menentukan arah kepemimpinan tidak sekuat di saat kita memilih. Setidaknya, kita telah berusaha melakukannya. Dan yang pasti, pilihan kita akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhaanahu Wata'ala. 



Karena itu, akan senantiasa dibutuhkan seorang Muslim yang mampu menentukan pilihannya secara cerdas dan tepat. 
Wallahu Waliyyut Taufiq 
Dari berbagai sumber (Al Fikrah No.11 Tahun X/08 Rabiul Akhir 1430 H) -  www.wahdah.or.id

Kolonialisme Eropa Terhadap Islam Di Indonesia

Kolonialisme tak selalu berdampak negative pada islam. Pengaruh mereka tidak selalu negative. Tidak sebagaimana yang selalu didengung – dengungkan oleh sebagian kalangan muslim saat ini bahwa kemunduran islam  dikarenakan kolonialisme dimasa silam. Saya akan mencoba merekontruksi sejarah islam di Indonesia dimasa kolonialisme dengan cara melihat masalah itu dari berbagai aspeknya. Tidak hanya dari aspek ideologis, tetapi juga aspek praktis dan aspek institusional. Sering kali kolonialisme belanda dan islam di Indonesia dipersepsi secara antagonistik. Islam adalah anti kolonial dan kolonialisme adalah  anti islam. Meski demikian tidak sedikit berkah yang berdampak positif bagi Islam di Indonesia akibat persentuhannya dengan kolonialisme Belanda. Seperti apa persisnya persentuhan Islam dan Kolonialisme di masa silam? Saya akan mencoba menjabarkannya. Ada banyak karya yang berbicara seputar Islam Indonesia dimasa kolonialisme Belanda, seperti apa wacana yang berkembang seputar relasi Islam dengan kolonialisme?
Dalam kajian Islam, baik di Barat ataupun di Timur Tengah dan juga di Asia Tenggara khususnya Indonesia, wacana yang berkembang adalah relasi Islam dan kolonialisme yang selalu dipersepsikan antagonistik, bermusuhan. Ada anggapan bahwa Islam itu anti kolonial dan kolonialisme itu anti Islam. Sehingga misalnya konsep jihad itu selalu dipahami sebagai gerakan sabilillah. Saya ingin mencoba persepsi negative dimasyarakat tentang kolonialisme. Pemahaman ini yang mendorong saya untuk mengkaji seputar relasi Islam dengan kolonialisme Eropa tersebut. Kita tahu bahwa jaringan ulama Asia Tenggara khususnya Indonesia dengan Timur Tengah memang sangat kuat. Jaringan Haramain (Makkah-Madinah), lebih khusus lagi dengan Universitas Al-Azhar di mesir, yang sangat kuat sekali pada masa itu.
Pengaruh jaringan itu memang sangat penting dan terasa hingga sekarang. Akan tetapi pengaruh Eropa dalam hal ini Belanda dan Inggris, di Asia Tenggara ternyata juga sangat besar. Lebih besar dari anggapan kita selama ini. Ini tentu fakta yang sangat mengagetkan, karena berbeda dengan anggapan mainstream, bahwa ternyata pengaruh belanda dan inggris itu begitu besar. Lantas bagaimana pengaruh yang terbangun pada waktu itu, dalam bentuk positif atau negatif kah? Pengaruh mereka tidak selalu negative, tidak sebagaimana yang selalu didengungkan sebagian kalangan muslim saat ini bahwa kemunduran Islam dikarenakan kolonialis dimasa silam. Kita tahu bahwa aspek institusional itu adalah seperti Institusi pendidikan, ormas-ormas keagamaan, seperti Muhammadiyyah yang kemudian direspon dengan kehadiran Nahdlatul Ulama. Sebelum Muhammadiyyah ada syarikat Islam. Syarikat islam muncul sebagai respon terhadap dekatnya Belanda dengan masyarakat Cina ketika itu. Jadi syarikat Islam ini awalnya adalah organisasi dagang. Tetapi kemudian mereka mengadakan pendidikan dakwah. Kemudian Muhammadiyyah lebih merupakan respon terhadap system organisasi kolonial. Tapi apapun itu, institusi-institusi tersebut tidak akan muncul tanpa ada tantangan. Dan tantangan yang paling besar adalah kolonialisme. Itulah sebabnya konsep Negara bangsa atau nation-state tidak bisa terjadi tanpa kolonialisme.
Konsep nasionalisme adalah hasil dari respon terhadap kolonialisme. Dan itu terjadi tidak hanya di Asia Tenggara, tapi juga di Eropa, Amerika dan Australia. Itu semua adalah respon dari kolonialisme. Dengan konsep Negara-bangsa, kebangsaan dibangun bukan atas dasar kesukuan belaka. Agama itu hanya bagian kecil saja. Apa peran yang dijalankan tokoh-tokoh kolonial masa itu hingga punya pengaruh yang berimbas pada aspek institusional. Mereka mencoba untuk mengatur derah jajahan. Pertama dari aspek pendidikan, kedua dari aspek hokum, dan ketiga kaitanya dengan aspek adat atau budaya local. Menurut saya pengaruh belanda inilah yang membuat islam Indonesia menjadi modernis. Moderenisasi Islam itu tidak aka nada di Indonesia ataupun Malaysia tanpa pengaruh belanda dan Inggris. Jadi kita tidak bisa bicara tentang moderenisasi islam di Indonesia tanpa menyinggung pengaruh Belanda.
Sebagai contoh dalam aspek pendidikan, sebelum kedatangan Belanda, Indonesia hanya mengenal system halaka, sebelum model belajar mengajar dimana ada ustad kemudian murid-murid melingkari sang ustad tadi. Nah, dengan model system pendidikan ala Belanda maka sekarang dikenallah system kelas. Kemudian ada ujian, ada ijasah, dan seterusnya. Ada tingkatan satu, tingkatan dua, yang tidak berdasarkan kitab yang dibaca seperti pada model halaka misalnya. Tapi berdasarkan kurikulum. Jadi pengenalan kurikulum itu sendiri adalah pengaruh dari Belanda. Inilah modernisasi yang terjadi dalam system pendidikan masa itu. Kita tahu bahwa di Indonesia juga ada Pesantren. Apa pengaruh kolonialisme secara lebih jauh terhadap institusi pesantren? Dari system belajar dipesantren system yang digunakan adalah menghafal, memorizing, dengan demikian system belajar yang berlaku adalah text . itupun yang diajarkan adalah dari kitab-kitab traditional klasik. Atau yang sering kita sebut kitab kuning. Dalam perkembangannya, sebagian pesantren mencoba ingin menambah dan merubah cara-cara belajar mereka. Pesantren kemudian mengadopsi system kolonial ini yang mereka sebut dengan madrasah.
Selain itu ada juga aspek hukum pada masa kolonial dan aspek hukum lokal. Pada waktu itu hukum kolonialisme Belanda terkodifikasi dengan baik. Dan hukum adat juga dikodifikasi dengan baik oleh Belanda. Tokoh-tokoh Islam di Indonesia mencoba merespon dengan mengkodifikasi juga hukum-hukum Islam. Sebagian tokoh ahli fikih di Indonesia mencoba mengkodifikasi, misalnya hukum-hukum dari mazhab Syafi’i. tidak heran jika kita temukan kompilasi hukum Islam pada zaman sekarang. Inilah respon tidak langsung dari kompilasi-kompilasi sejenis yang dilakukan oleh belanda sebelumnya. Dan juga hukum adat saat itu sebagian sudah dipengaruhi oleh hukum Islam. Misalnya dalam konteks Islam di Sumatera Barat terkenal adagium, adat basandi kitabullah.

Dalam hal Ideologi kaitannya dengan kolonialisme mereka memiliki perbedaan. Motiv awal mereka murni ekonomi dan peradaban. Karena mereka ingin mencari rempah-rempah dan misi memperadabkan orang-orang yang mereka jajah. Namun pada perkembangannya Belanda melakukan intervensi. Misalnya pemisahan antara Islam agama dengan Islam politik. Maka bila ada gerakan Islam politik harus dibumi hanguskan. Maka dalam hal ini bahwa kolonialisme berpengaruh secara tidak langsung terhadap perkembangan konservatisme Islam di Indonesia.

Makalah Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pondok Pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, di mana kiai, ustadz, santri dan pengurus pondok pesantren hidup bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya. Pondok Pesantren juga merupakan suatu keluarga yang besar dibawah binaan seorang kyai atau ulama di bantu oleh ustadz, semua rambu-rambu yang mengatur kegiatan dan batas-batas perbuatan : halal-haram, wajib-sunnah, baik-buruk dan sebagainya itu berangkat dari hukum agama islam dan semua kegiatan dipandang dan dilaksanakan sebagai bagian dari ibadah keagamaan, dengan kata lain semua kegiatan dan aktivitas kehidupan selalu dipandang dengan hukum agama Islam.
Pada kenyataannya pondok pesantren dengan fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam juga berfungsi sebagai tempat penyiaran agama Islam dimana para santri (santriwati/santriwan) dididik untuk bisa hidup dalam suasana yang bernuansa agamis, maka dari itu pondok pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral/perilaku bagi masyarakat umum.
Masyarakat umum memandang pondok pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal terutama dalam bidang kehidupan moral/perilaku. Dan bahkan pondok pesantren dianggap sebagai tempat mencari ilmu dan mengabdi, tetapi pengertian ilmu menurut mereka tampak berbeda dengan pengertian ilmu dalam arti science. Ilmu bagi mereka, ilmu dipandang suci dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran agama. Mereka selalu berfikir dalam kerangka keagamaan, artinya semua peristiwa empiris dipandang dalam struktur relevansinya dengan ajaran agama.
Namun dalam beberapa tahun terakhir ini berita dan opini terorisme, baik di media cetak maupun media elektronik, pondok pesantren di klaim sebagai sarang teroris, tempat dimana para teroris digembleng dan dididik. Contoh kasus dengan ditangkapnya AMROZI seorang santri yang lugu dari desa tenggulun, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa timur sebagai pelaku pengeboman di Bali dan sebelumnya muncul kepermukaan bahwa ABU BAKAR BA’ASYIR (pimpinan pondok pesantren Al-Mukmin ngruki, Solo) terlibat dalam pengeboman tersebut.
Dengan adanya fenomena seperti halnya diatas pondok pesantren kemudian di obok-obok dengan tuduhan-tuguhan seperti yang ada dalam media massa. Pertanyaaan kemudian “Apakah proporsional mencurigai "asal-usul" institusi pendidikan seorang pelaku kejahatan seraya membuat kesimpulan yang sifatnya mutlak? “
Pondok Pesantren klasik dan modern dalam pengamatan penulis sebagai salah satu pondok pesantren dan sekaligus salah satu lembaga pedidikan yang ada di Indonesia (ini tidak bersifat ilmiah) dalam kehidupan sehari-hari terlihat semua berjalan seperti apa yang diinginkan oleh pihak pengurus pondok pesantren, mereka hidup dalam nuansa yang islami, pola interaksi diantara para penghuni pondok pesantren terlihat sangat ramah dan semua berpedoman pada aturan yang telah disepakati.
Namun, dalam pengamatan penulis di sisi lain sebagian besar dari alumni pondok pesantren ini setelah meninggalkan pondok pesantren dan memasuki dunia baru yaitu dunia perguruan tinggi (mahasiswa) dengan serta merta kemudian dengan gampang melepas identitas mereka sebagai santri yang kemudian mencoba berbagai macam kehidupan dalam pergaulan yang ada dilingkungan baru mereka tanpa ada pertimbangan bahwa mereka adalah alumni pondok pesantren yang seharusnya menyiarkan dakwah agama Islam dan menjadi suri teladan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan uraian diatas penulis kemudian tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang pondok pesantren, maka penulis memberi judul dari makalah ini : PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM.
1.2  Rumusan Masalah
Pondok pesantren di samping berfungsi sebagai lembaga pendidikan formal juga berfungsi sebagai tempat penyiaran dakwah Islam, dan wadah pembinaa remaja yang ternyata dalam realitas kehidupan banyak menimbulkan pertanyaan tentang kehidupan internal mereka sendiri.
Berkaitan dengan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka penulis memberikan batasan/rumusan masalah sebagai berikut :
a.       Apa sebetulnya Pesantren itu?
b.      Bagaimanakah Peranan Pesantren dalam Pembangunan Nasional?
c.       Bagaimanakah Kemampuan Pesantren dalam Mengontrol Perubahan Nilai?
d.      Bagaimanakah Pola Pendidikan di Pesantren dan Sumbangannya dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional?
e.       Bagaimana dengan Kebijakan Diknas Dan Revitalisasi Pesantren?
f.       Bagaimana Prediksi anda Tentang Pesantren Masa Depan?















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Berkenalan Dengan Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang tertua di Indonesia setelah rumah tangga. Namun masih banyak “Rahasia” pesantren yang belum diungkapkan oleh para peneliti. Diantaranya adalah bagian-bagian yang sangat sulit diungkapkan.
Menurut para ahli pesantren baru dikatakan pesantren bila memenuhi lima syarat yaitu (1) Ada kiai, (2) Ada pondok, (3) Ada masjid, (4) Ada santri, (5) Ada pengajaran baca kitab kuning
Peran pesantren dimasa lalu kelihatan paling menonjol dalam hal menggerakkan, memimpin, dan melakukan perjuangan dalam rangka mengusir penjajah. Muhammad Mansur Surya Negara, seorang pakar sejarah dari Universitas Padjadjaran Bandung pernah mengatakan bahwa sulit mencari gerakan untuk melawan penjajah di Indonesia ini yang bukan digerakan dan dipimpin oleh orang pesantren.
Peran pesantren dimasa sekarang juga amat jelas, contoh yang paling nyata ialah sulitnya pemerintah memasyarakatkan program bila tidak melalui pemimpin pesantren, contoh lainnya ialah banyaknya pemimpin politik “Mendekati” pesantren, terutama menjelang pemilihan umum.
Tujuan terbentuknya pondok pesantren adalah :
1.      Tujuan umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballiqh islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
2.      Tujuan khusus
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.

2.2  Pesantren dan peranannya dalam pembangunan Nasional
Zamakh Syari Dhofir (1982 : 44) mencoba mengklasifikasikan pesantren dari jumlah santri. menurutnya pesantren yang santrinya kurang dari 1000 dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten disebut pesantren kecil. Santri antara 1000-2000 dan pengaruhnya pada beberapa kebupaten disebutnya pesantren menengah, bila santrinya lebih dari 2000 dan pengaruhnya tersebar pada tingkat beberapa tingkat kabupaten dan propinsi dapat digolongkan sebagai pesantren besar.
Setidaknya ada dua macam pendekatan yang dapat dipergunakan dalam memandang kaitannya antara agama dan pembangunan, termasuk pembangunan agama, yaitu pendekatan yang bersifat suplementer dan komplementer. pendekatannya yaitu :
1.      Agama hanyalah penunjang bagi upaya pemberdayaan pembangunan karena ia mempengaruhi ola tingkah laku manusia yang sedang membangun, baik kehasirannya sebagai individu maupun secara kolektif
2.      Menghendaki keterlibatan agama atau lembaga keagamaan dalam proses pembangunan, metode, dan sarana yang diperlakukan untuk maksud tersebut.
Dengan semikian Agama sejak awal telah terlibat dalam proses pembangunan, dan bukan hanya bukan sebagai faktor penunjang, didalam GBHN, baik pada tahun 1992-1997 maupun tahun 1997-2003 telah terjadi pergeseran yang lebih menekankan pada pendekatan kedua. Berbagai terobosan dalam peningkatan sumber daya manusia yang berasaskan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Adalah satu kata yang konkret untuk mengartikulasikan penyataan dimaksud.
Kehadiran pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang dahulu disebut tradisional, kini semakin diminati oleh banyak kalangan termasuk masyarakat kelas menengah atas. menurut data didepartement agama, bahwa dari 8.991 pondok pesantren saat ini, terdapat 1.598 berada didaerah perkotaan (18%) sedang yang diwilayah pedesaan sebanyak 7.393 (82%) dengan demikian terdapat pergeseran dari tahun ketahun dengan melihat kecenderungan ini, maka di prediksikan suatu saat nanti akan terjadi penimbangan jumlah pesantren antara kota dan desa.
Menarik juga klasifikasi yang diajukan oleh Wardi Bakhtiar tatkala membagi pesantren menjadi dua macam, dilihat dari macam pengetahuan yang diajarkan menurutnya (1990 : 22) dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
1.      Pesantren salafi, yaitu pesantren yang mengajarkan kitab-kitab klasik. Sistem madrasah diterapkan untuk mempermudah tekhnik pengajaran sebagai pengganti metode sorogan. Pada pesantren ini tidak diajarkan ilmu umum.
2.      Pesantren khalafi, yaitu selain memberikan pengajaran kitab islam klasik juga membuka sistem sekolah umum dilingkungan dan dibawah tanggungjawab pesantren.
Pada tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang mumpuni, yaitu didalamnya didirikan sekolah baik secara formal maupun nonformal. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan yaitu :
1.      Mulai akrab dengan mitodologi ilmiyah modern
2.      Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka pada perkembangan diluar dirinya
3.      Difersifikasi program dan kegiatan makinterbuka dan ketergantunganpun absolut dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan diluar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan dilapangan kerja
4.      Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat[1].
Kecenderungan-kecenderungan tersebut bukan berarti pondok pesantren telah menduduki posisi sebagai lembaga yang paling elit, tetapi ditengah-tengah arus perubahan sosial-budaya justru kecenderungan tersebut menjadi masalah baru yang perlu dipecahkan yaitu :
1.      Masalah integrasi pondok pesantren kedalam sistem pendidikan nasional.
2.      Masalah pengembangan wawasan sosial, budaya, dan masalah ekonomi.
3.      Masalah pengalaman kekuatan dengan pihak-pihak lain untuk mencari tujuan membentuk masyarakat ideal yang diinginkan.
4.      Masalah berhubungan dengan keimanan dan keilmuan sepanjang yang dihayati pondok pesantren[2].
Dipihak lain, pondok pesantren kini mengalami transportasi kultur, sistem dan lainnya. Pondok pesantren yang dikenal dengan “Salafiah” kini telah berubah dengan menjadi “Khalafiah’. Tranformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan kepada pesantren dalam arus tranformasa kini sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis.

2.3  Kemampuan Pesantren Dalam Mengontrol Perubahan Nilai
Almarhum KH. Abdul Rahman Wahid, orang yang dianggap cukup mengetahui hal ikhwal pesantern, melaporkan Teori Geertz yang menurutnya kiai berperan sebagai penyaring arus informasi yang masuk kelingkungan kaum santri, menularkan apa yang dianggap berguna dan membangun apa yang dianggap merusak, teori ini menetapkan kiai sebagai filter nilai. Selanjutnya dikatakan bahwa peranan penyaring itu akan macet manakala arus imformasi yang masuk terlalu deras. Dalam keadaan demikian kiai akan peranannya dalam merekayasa budaya. Kiai juga ditemukan mempunyai peranan aktif selain meredam akibat perubahan yang dibawa arus informasi juga mempelopori terjadinya perubahan masyarakat menurut caranya sendiri.
Beberapa indikator pergeseran nilai yang dialami oleh pondok pesantren, diantaranya seperti dikemukakan oleh Dr. Mastuhu yaitu :
Kiai bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Dengan semakin beranekaragam sumber belajar baru, maka semakin tinggi dinamika komunikasi antara sistem pendidikan pondok pesantren dengan sistem yang lain.
Seiring dengan pergeseran nilai dimaksud maka kebanyakan santri saat ini membutuhkan ijazah dan penguasaan bidang keahlian keterampilan yang jelas agar dapat mengantarkannya untuk menguasai dan memasuki lapangan kehidupan baru. Dalam kehidupan modern, kita tidak cukup hanya dengan berbekal moral yang baik, tetapi perlu dilengkapi dengan keahlian (skill) atau keterampilan yang relevan dan sinergis dengan kebutuhan dunia kerja.
Jadi jelaskan bahwa resistensi pesantren dalam globalisasi budaya dapat diyakini adanya, tetapi kerja sama dengan pihak luas pesantren sangat diperlukan.

2.4  Pendidikan di Pesantren dan Sumbangannya dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional.
Tujuan Pendidikan Nasional sebagimana tercantum di dalam pasal 4 UUSPN adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Mastuhu, ada 10 prinsip yang berlaku pada pendidikan di pesantren. Kesepuluh prinsip itu menggambarkan kira-kira 10 dari utama tujuan pendidikan pesantren antara lain :
1.      Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran islam
2.      Memiliki kebebasan yang terpimpin
3.      Berkemampuan mengatur diri sendiri
4.      Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi
5.      Menghormati orang tua dan guru
6.      Cinta kepada ilmu
7.      Mandiri
8.      Kesederhanaan


2.5  Kebijakan Diknas Dan Revitalisasi Pesantren
a.      Kebijakan Diknas
Merujuk pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren memiliki tempat istimewa. Namun, ini belum disadari oleh mayoritas Muslim. Ini karena kelahiran UU tersebut amat belia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal berikut.
Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Eksistensi pesantren sebagai motor penggerak pendidikan keagamaan mendapat legitimasi yang kuat dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 30 menjelaskan, pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.
Pesantren yang merupakan pendidikan berbasis masyarakat juga diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Ketentuan tersebut mestinya semakin membuka peluang pesantren terus bertahan dan berkontribusi mengembangkan pendidikan keagamaan formal maupun nonformal. Dengan demikian, pesantren mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, kreatif, memiliki skill dan kecakapan hidup profesional, agamis, serta menjunjung tinggi moralitas.
Pesantren tidak perlu merasa minder, kolot, atau terbelakang. Posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kenyataannya, amanat UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen serta beberapa peraturan pemerintah lainnya masih belum berpihak pada dunia pesantren. Pesantren nyaris tidak pernah disentuh dan dilibatkan dalam kebijakan sistem pendidikan nasional. Revitalisasi pendidikan pesantren yang diamanatkan UU Sisdiknas pun terabaikan.

b.      Revitalisasi Pesantren
Untuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU No 20/2003, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren.
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus lebih meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dengan intensif dalam pelaksanaan dan pengelolaan pesantren. Upaya merevitalisasi dan memodernisasi pesantren tentu saja harus sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Paling tidak, hal ini bisa dilakukan melalui beberapa terobosan. Pertama, menghapus dikotomi dan diskriminasi terhadap pendidikan pesantren yang selama ini dipandang sebagai bukan bagian dari sistem pendidikan nasional. Kedua, diperlukan adanya pola pendidikan dengan terobosan kurikulum terpadu yang memadukan antara pendekatan sains, agama, dan nilai kebangsaan. Dengan begitu, upaya penanaman nilai agama, moral, dan nilai kebangsaan pada anak didik dapat mencapai sasaran pembelajaran.
Ketiga dan yang tak kalah penting lagi adalah upaya peningkatan kualifikasi, profesionalitas dan kesejahteraan guru pesantren sebagaimana amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sehingga, guru-guru di pesantren bisa mengajar dengan nyaman dan merasakan hidup yang sejahtera.
Sudah saatnya kita lebih memperhatikan dunia pendidikan pesantren. Pesantren harus ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pesantren telah memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan generasi berkualitas dan mampu menjaga moralitas bangsa.
2.6  Prediksi Tentang Pesantren Masa Depan
Apabila seluruh peserta kita anggap satu, maka kita akan memperoleh gambaran tentang masyarakat itu sendiri. Dalam islam ada tiga paradigma besar pengetahuan.
1.      Paradigma sains, ini adalah suatu pengetahuan yang diperoleh dengan akal dan indra. Paradigma ini adalah paradigma logis empiris.
2.      Paradigma logis, yaitu mencari pengetahuan pada objek-objek abstrak tetapi logis. Hasilnya ialah pengetahuan filsafat, pengetahuan filsafat itu logis tetapi tidak empiris.
3.      Paradigma mistik, yaitu suatu cara memperoleh pengetahuan tentang objek abstrak suprelogis, dengan datu (rasa). Dengan paradigma ketiga inilah tasawuf itu diketahui dan dipahami.
Bila benar kelak pesantren mampu mengambil ketiga paradigma itu, maka nilai-nilai lama positif akan bertahan pada pesantren. Sementara nilai baru akan terseleksi, pesantren tidak akan gugup menghadapi arus globalisasi.

























BAB III
KESIMPULAN

Pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang tertua di Indonesia setelah rumah tangga. Menurut para ahli pesantren baru dikatakan pesantren bila memenuhi lima syarat yaitu (1) Ada kiai, (2) Ada pondok, (3) Ada masjid, (4) Ada santri, (5) Ada pengajaran baca kitab kuning.
Pondok Pesantren juga merupakan suatu keluarga yang besar dibawah binaan seorang kyai atau ulama di bantu oleh ustadz, semua rambu-rambu yang mengatur kegiatan dan batas-batas perbuatan : halal-haram, wajib-sunnah, baik-buruk dan sebagainya itu berangkat dari hukum agama islam dan semua kegiatan dipandang dan dilaksanakan sebagai bagian dari ibadah keagamaan, dengan kata lain semua kegiatan dan aktivitas kehidupan selalu dipandang dengan hukum agama Islam.
Pada kenyataannya pondok pesantren dengan fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam juga berfungsi sebagai tempat penyiaran agama Islam dimana para santri (santriwati/santriwan) dididik untuk bisa hidup dalam suasana yang bernuansa agamis, maka dari itu pondok pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral/perilaku bagi masyarakat umum.
Kehadiran pesantren saat ini menjadi titik sentral kajian para ahli, karena nuansa-nuansa yang dicanangakan dan dilaksanakan dalam pesantren sangat unik, sehingga tidak sedikit para ahli mengeritik atau juga melihat segi positifnya, karena kondisinya yang serba lain, salah satunya yaitu pesantren sebagai komonitas dan sebagai lembaga pendidikan yang besar jumlahnya dan luas penyebarannya diberbagai pelosok tanah air telah banyak memberikan saham dalam pembentukan manusia Indonesia yang religius.




Dalam hal ini sebetulnya tujuan dari didirikannya pondok pesantren adalah
1.      Tujuan umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballiqh islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
2.      Tujuan khusus
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.
Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan yaitu :
1.      Mulai akrab dengan mitodologi ilmiyah modern
2.      Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka pada perkembangan diluar dirinya
3.      Difersifikasi program dan kegiatan makinterbuka dan ketergantunganpun absolut dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan diluar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan dilapangan kerja
4.      Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Untuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU No 20/2003, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren.






DAFTAR PUSTAKA


Tafsir, Dr. Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosda Karya.

Suswendi, M.Ag. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Rajawali Pers.

Drs. Muhaimin, MA - Mujib, Drs. Abdul. Pemikiran Pendidikan Islam dan Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Bandung: Trigenda Karya, 1993.

Fadjar, H. A. Malik. Visi Pembaharuan Pendidikan Islam


[1] Rusli Karim M, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Tranformasi Sosial-Budaya dalam Muslih   Usa (ed) Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991, hlm.134
[2] Karim Rusli M, Dinamika Islam di Indonesia, Suatu Tinjauan Sosial dan Politik, Yogyakarta: Hanindita, 1985 hlm. 139