09 November 2010

Hanya Lima Puluh Menit Dalam Sehari

Oleh Ustadz Said Yai dkk. di UIM


Ibadah yang amat mulia itu merupakan benang merah antara seorang hamba dan Rabb-nya. Ibadah yang sangat agung itu bagaikan sehilir sungai jernih yang mensucikan noda-noda dosa seorang hamba yang rajin mandi di dalamnya. Ya, dialah shalat lima waktu.



Namun demikian, meskipun ibadah yang satu ini memiliki keutamaan “segudang”, namun amat menyedihkan karena di akhir zaman ini, banyak orang yang melalaikannya, termasuk sebagian penduduk tanah air kita tercinta. Seolah-olah meninggalkan shalat bagaikan suatu kebiasaan yang lumrah dan dosa yang sepele.


Jika kaum muslimin sekarang ini diiming-imingi untuk melakukan perbuatan dosa, seperti: membunuh, merampas kehormatan wanita, mencuri atau meminum minuman keras, niscaya kebanyakan dari mereka akan menolak mentah-mentah untuk melakukannya, dengan alasan perbuatan tersebut adalah dosa yang sangat besar.

Sadarkah mereka bahwa dosa meninggalkan shalat lima waktu jauh lebih besar dari semua perbuatan dosa besar di atas?



Sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



« الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ »



Artinya: “Perjanjian antara kita (kaum muslimin) dengan mereka (kaum musyrikin) adalah shalat. Barang siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir”. (HR. Imam At-Tirmidzi no. 2621 dan di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albani).



Ini menunjukkan bahwa dosa orang yang meninggalkan shalat jauh lebih besar dari perbuatan-perbuatan dosa yang telah disebutkan di atas.



Dalam kondisi apapun seorang muslim dituntut untuk mengerjakan shalat, baik itu dalam keadaan sakit parah, perjalanan jauh, peperangan ataupun kondisi susah lainnya.



Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:



Peliharalah shalat-shalatmu dan (peliharalah) shalat Ashar. Dan berdirilah karena Allah dengan khusyu’.” (QS Al-Baqarah: 238).



Hanya saja, di dalam beberapa keadaan, Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan berbagai dispensasi (keringanan) kepada para hamba-Nya untuk mengerjakannya dengan tata cara yang lebih ringan, namun bukan untuk meninggalkannya secara total. Dalam keadaan sakit yang parah misalnya; kita diperkenankan untuk shalat sambil duduk, jika tidak mampu maka dengan berbaring sebelah kanan, jika tidak mampu maka dengan terlentang, dan jika tidak mampu pula maka cukup dengan isyarat tangan atau mata.



Begitu pula dalam perjalanan jauh; kita diperkenankan, bahkan disunahkan untuk meng-qashr (meringkas) shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Begitu pula, kita diperbolehkan -jika dibutuhkan- untuk men-jama’ (menggabungkan) shalat Dzhuhur dengan ‘Ashr atau Maghrib dengan ‘Isya’ di salah satu waktu dari dua waktu shalat tersebut.



Banyak sekali keringanan-keringanan yang telah Allah berikan pada kita. Pendek kata, kewajiban shalat tidak akan gugur dari diri seorang hamba, kecuali di saat dia telah dikafani dan disalati oleh kaum muslimin.



Kalau kita mau jujur, seandainya dalam satu kali shalat saja minimal kita membutuhkan sepuluh menit, lalu kita kalikan lima kali waktu shalat, hasilnya hanyalah lima puluh menit. Subhanallah! Hanya kurang dari satu jam dari dua puluh empat jam, Allah ta’ala meminta kita untuk menyisihkannya guna “dipersembahkan” untuk Yang telah memberikan kepada kita segala nikmat-Nya! Layakkah kita berlaku kikir pada-Nya?



Allah ta’ala menceritakan percakapan para penghuni neraka,



(Dosa) apakah yang mengakibatkan kalian masuk ke dalam neraka? Mereka menjawab: Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat”. (QS. Al-Muddatstsir: 42-43)



Semoga kita bukan termasuk orang-orang yang mengorbankan nikmat akhirat yang abadi guna meraih “fatamorgana” keindahan dunia yang fana ini. Amin.



Mudahan bermanfaat.



Sumber: http://kajiansaid.wordpress.com