04 Januari 2011

SYAHADAH

  " Katakanlah, "Hai ahli Kitab, marilah kita kepada kalimat yang sama antara kami dan kamu yaitu bahwa TIDAK ADA YG KITA SEMBAH SELAIN ALLAH, dan tidak kita mempersekutukan- Nya dengan sesuatu apapun juga.  Dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain dari Allah. Maka jika, mereka berpaling katakanlah, SAKSIKANLAH BAHWA SESUNGGUHNYA KAMI ADALAH MUSLIM" ( Ali 'Imran: 64)
 
   Pemahaman tentang syahadah, sebagai pilar utama dienul Islam, menjadi urgens, apalagi ketika pendekatan fiqhiyah mendominasi kaum Muslimin dalam memahami diennya.  Padahal fiqh dan cabang- cabang tsaqofah Islamiyah itu sendiri berpangkal pada syahadah ini.  Bahkan secara umum tsaqofah islamiyah bertumpu pada tsaqo- fah ta'hiliyyah (doktrin-doktrin Islam).  Karenanya tak heran kalau akhirnya muncul kontradiksi-kontradiksi yang mengenaskan. Perdebatan tentang fiqh shallat hangat dan kadang mengalahkan hangatnya ukhuwah.  Padahal seselai shallat kaum Muslimin berdo'a "Allahumaghfir lil Muslimina wal Muslimat..." "Robbana firlana wali ikhwanina..." memohon ampunan bagi seluruh kaum Muslimin dan saudara-saudara seiman.  Dalam shallat kita bersumpah; "Sesungguhnya shallatku, ibadahku, hidupku, dan matiku aku serahkan
kepada Rabb semesta alam".

Dalam shallat kita menutup aurat secara rapi. Dalam shallat kita membesarkan hanya nama Allah, dalam shallat di surat al fatihah kita memohon kepada Allah agar ditunjuki jalan yang lurus, jalan para Nabi, shidiiqiin, shalihin, dan syuhada, dalam shallat kita berjanji untuk meminta tolong hanya kepada Allah, dan menyembah hanya Allah saja. Lalu setelah selesai shalat?

Bagaimana sikap kita dengan teman dan saudara seiman lainnya?
Waktu kita, hidup dan mati kita, benarkan untuk Allah dan perjuangan menegakkan dien-Nya ? Aurat, jilbab, disimpan dimana? Nama Allah atau nama universitas, suku, ras dll yang masih kita agungkan? 

Lalu jalan lurus yang telah tersedia kenapa dimohonkan saja dan tidak ditapaki?
Benarkan kita hanya menyembah Allah saja dengan asyaddu hubalillah cinta yang bersangatan, mengalahkan cinta-cinta kita kepada selain Allah?
 
Inilah kontradiksi lebar yang ada.  Dimana syahadah kita belum menempati maknanya yg utuh dalam jiwa.  Syahadah masih samar dalam merah darah kita dan tidak mensibghah (mewarnai) hati kita. Karena kita jahil terhadapnya, kita bodoh dan tidak mensikapinya secara tepat.  Karenanya tak heran manakala seorang Muslim bercermin dalam cermin dien, yang muncul adalah wajah centang-perentang.

Antara Islam dan Muslim (sebagai pelaksana Islam), antara jalan hidup dan orang yang memasrahkan diri untuk berpedoman dengan jalan itu tidak matching.  Tidak muncul wajah anggun Islam dalam diri Muslim sebagai pribadi atau secara kolektif dalam pentas peradaban masa kini.  Yang ada adalah seorang Muslim yang menerima sebagian Islam dan menolak bagian lainnya, seorang Muslim yang memandang Islam dengan kacamata dari luar jati diri dien ini, yang menganggap Islam hanya sebagai urusan pribadi dan dia sebagai pribadi tak ada pembelaan apa-apa terhadap urusan dien ini, seorang muslim formal yang nominal. Tandasnya, Muslim tidak sama dengan pelaksana Islam.  Sungguh paradox yang mengenaskan.
 
   Maka tak ada pilihan bagi kita selain kembali kepada jati-diri kita sebagai pelaksana syahadah, orang yang terikat perjanjian dengan Allah.  Dalam titik ini kita temui urgensi kembali pada pemahaman syahadah yang lurus.
 
 Wallahu 'alam bishowwab

Taqwa

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa; dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan muslim." (QS. 3:102)
 
Taqwa adalah salah satu istilah kunci dalam Al-Qur`an. Namun tidak terlalu mudah untuk memaparkan arti taqwa. Umumnya taqwa didefinisikan sebagai "takut pada Allah" (atau "God-fearing") yang ditandai dengan menjauhi segala larangan-Nya dan menjalankan semua perintah-Nya. Namun dalam Al-Qur`an, kata takut telah memiliki padanan, yaitu "khasyiya" dan "khawf".
 
"Dan hendaklah orang-orang takut (khasyyah) seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (QS. 4:9)
 
Nampak bahwa ada nuansa perbedaan antara takut dan taqwa. Taqwa lebih cenderung kepada suatu sikap etika. Orang-orang yang beriman dan mengikuti petunjuk Allah justru akan dijauhkan dari ketakutan atau suasana ketakutan.
 
"... Sesungguhnya akan datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, akan lenyap segala ketakutan (khawf), dan ada pula kesusahan." (QS. 2:38)
 
"Sesunguhnya orang-orang yang mengatakan: Rabb kami ialah Allah, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita." (QS. 46:13)
 
Kurang tepat jika taqwa diterjemahkan dengan sesuatu yang mengandung kata "fearing". Hamka justru menyatakan bahwa kata taqwa justru mengandung kesan berani dan melawan takut. Maka akan lebih tepat untuk menafsirkan taqwa sebagai "lurus". Mutaqqi, orang yang bertaqwa, orang yang lurus (righteous) pada jalan Allah. Orang yang tidak menyimpang dari jalan Allah.
 
Di dalamnya, kita akan mendapati sikap menghindari kerusakan, menangkal kejahatan, dan kehati-hatian. Orang yang bertaqwa adalah orang yang memiliki mekanisme datau daya penangkal terhadap penyimpangan yang merusak diri sendiri dan orang lain. Sikap taqwa dibentuk dengan mensucikan diri dan pikiran, seperti yang ditegaskan dalam QS. 91 (As-Syams) berikut :
 
"(1) Demi matahari dan kilaunya, 
 (2) dan bulan apabila mengiringinya, 
 (3) dan siang apabila menampakkannya, 
 (4) dan malam apabila menutupinya, 
 (5) dan langit serta pembinaannya, 
 (6) dan bumi serta penghamparannya, 
 (7) dan jiwa serta Ia (Allah) yang menyempurnakannya, 
 (8) dan mengilhamkan padanya kefasikan dan ketaqwaan, 
 (9) sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, 
 (10) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. "
 
Sedangkan petunjuk yang diberikan, yang menjadi pegangan menuju ketaqwaan, yang membebaskan dari ketakutan, adalah Al-Qur`an QS 2 (Al-Baqarah) menjelaskan :
 
(1) Alif laam miim. 
(2) Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa
(3) (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, 
(4) dan mereka yang beriman kepada Kitab yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya akhirat. 
(5) Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb-nya, dan merekalah orang-orang yang beruntung. "
 
Maka Prof Usman Muhammady mendefinisikan orang yang bertaqwa sebagai manusia berilmu dan beriman, mampu memelihara diri dari kejahatan, dan memakai Al-Qur`an sebagai pemimpin.
 
Seperti juga iman, taqwa lebih difokuskan pada hubungan manusia dengan Allah. Ketaqwaan didasarkan atas pengakuan diri sebagai hamba Allah, ketaqwaan dijalankan dengan mengacu pada petunjuk Allah. Dan ketaqwaan adalah nilai atau harga manusia dalam pandangan Allah.
 
"... Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. 49:13)
 
Namun kenyataan bahwa taqwa lebih terfokus pada hubungan manusia dengan
Allah tidak menjadikan taqwa terpisah dari kehidupan kemanusiaan. Sebaliknya, penerapan taqwa akan sangat terasa dalam sisi kemanusiaan. Misalnya ketaqwaan mendorong untuk bersikap adil, dan menjaga silaturrahim, dan saling berbagi dengan sesama.
 
"... Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa." (QS. 5:8)
 
"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (QS. 4:1)
 
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar; dan mereka itulah rang-orang yang bertaqwa." (QS. 2:177)

Tafsir Ayat Kursi

Ayat al-Kursi adalah ayat yang paling agung dalam al-Qur'an. Sekian banyak riwayat yang bersumber dari Rasul dan sahabat-sahabat beliau yang menginformasikan hakekat ini. Antara lain dari seorang sahabat Nabi yang bernama Ubaiy bin Ka'ab yang menceritakan bahwa Nabi saw pernah bertanya kepadanya:
"Ayat apakah dalam Al-Qur'an yang paling agung?"
"Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu" (ini diulang-ulang oleh Ubaiy), kemudian ia berkata ayat al-Kursi. Rasul saw, membenarkan Ubaiy (Diriwayatkan oleh Muslim) Ubaiy juga  menguraikan dalam kesempatan lain, bahwa ia pernah bertemu dengan jin dan bertanya kepadanya, apakah bacaan yang dapat menjauhkan manusia dari gangguan jin, sang jin menjawab, "Ayat al-Kursi". Ketika informasi ini dismapaikan Ubaiy kepada Rasul, beliau menjawab, "benar (informasi) si jahat itu". (Diriwayatkan oleh al-Hakim) Kasus yang mirip dialamai oleh sahabat Nabi yang lain yaitu Abu Hurairah, ketika diperintahkan Nabi saw. menjaga kurma  sedekah.
Ayat al-Kursi dinamai juga ayatul hifz (ayat pemelihara), karena pembaca yang menghayati maknanya dapat memperoleh perlindungan Allah swt...... Dalam konteks ini paling tidak ada dua hal yang dapat dikemukakan. Pertama, ayat ini berbicara tentang Allah swt. dan sifat-sifat-Nya. Kandungan uraiannya saja sudah  cukup menjadikan ayat ini ayat yang agung. Apalagi ayat al-Kursi merupakan satu-satunya ayat yang dalam redaksinya ditemukan tujuh belas kali kata yang menunjuk kepada Allah swt. Enam belas diantaranya terbaca dengan jelas dan satu tersirat. Perhatikanlah terjemahan di bawah ini:
"Allah (1) Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia (2) Yang Maha Hidup (3) Kekal, (Tuhan) Tuhan yang terus menerus engurus (4) (makhluk-Nya). Dia (5) tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya (6) apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah (7) tanpa izin-Nya (8). Allah (9) mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan dibelakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu dari ilmu Allah  (10), melainkan apa yang dikehendaki-nya (11). Kursi pengetahuan /kekuasaan)-Nya (12) meliputi langit dan bumi. Allah (13) tidak merasa berat memelihara keduanya dan Allah (14) Maha Tinggi (15) lagi Maha Besar (16) Yang menunjuk kepada Allah tetapi tersirat adalah kalimat "hifzuhumaa, karena patron kata semacam ini menyiratkan kalimat "laa yauuduhu an yahfazahumaa huwa" (tidak lelah Dia memelihara keduanya), sehingga  kata "Dia" yang nampak dalam terjemahan di atas, pada hakekatnya tersirat dalam redaksi "Hifzuhumaa".
Ayat al-Kursi--demikian pula al-Mu'awwizatain dipilih untuk dibaca--baik dalam konteks tahlil, maupun bukan, karena ayat-ayat tersebut mengandung makna perlindungan, serta kewajaran Allah untuk dimohonkan kepada-Nya perlindungan, baik bagi yang masih hidup maupun yang telah berpulang.
Hal kedua yang dapat dikemukakan dalam konteks pemahaman rasional adalahhal yang berkaitan dengan kandungan pesan ayat ini. Apabila yang membaca  ayat al-Kursi menghayati maknanya dan hadir dalam jiwa dan benaknya kebesaran Allah yang dilukiskan oleh kandungan ayat ini, maka pastilah jiwanya akan dipenuhi pula oleh ketenangan....
"Allahu laa ilaaha illa huwa (Allah tiada Tuhan selain Dia). Allah adalah Tuhan yang menguasai hidup mati makhluk, yang hanya kepada-Nyasaja tertuju segala pengabdian.....
Boleh jadi ketika itu, terlintas di dalam benak si pembaca, bisikan Iblis yang berkata bahwa yang dimohonkan  pertolongan dan perlindungannya itu, dahulu pernah ada, tetapi kini telah "mati", maka penggalan ayat berikutnya, meyakinkannya tentang kekeliruan dugaan tersebut, yakni dengan sifat "al-Hayyu" (yang Maha Hidup dengan kehidupan yang kekal).
Boleh jadi Iblis datang lagi dengan membawa keraguan dengan berkata:"Memang Dia hidup kekal, tetapi Dia tidak pusing dengan urusan manusia, apalagi si
"pemohon". Kali ini penggalan ayat berikut menampik kebohongan ini dengan firman-Nya "al-Qayyum" (yang terus menerus mengurus mahkluk-Nya), dan untuk lebih meyakinkan dilanjutkannya uraian sifat Allah itu dengan menyatakan: "laa ta'khuzuhu sinatun wa laa nauwm" (Dia tidak disentuh oleh kantuk atau tidur) sehingga Dia terus menerus dalam keadaan jaga dan siaga.
Dengan penjelasan ini hilang keraguan yang dilemparkan iblis itu. Setelah itu boleh jadi iblis datang lagi dengan membisikkan bahwa: "Dia tidak kuasa menjangkau tempat di mana si pemohon berada, atau kalaupun Dia sanggup, jangan sampai Dia "disogok" oleh yang bermaksud membinasakan si pemohon, maka untuk menampik bisikan jahat ini, penggalan ayat berikut tampil dengan gamblang menyatakan "lahuu maa fis-samawati wa maa fil ardhi (Milik-Nya apa yang ada di langit dan di bumi serta keduanya berada dibawah kekuasaan-Nya).
Tidak hanya itu, tetapi ini berlanjut dengan firman-Nya: "man zallazi yasyfa'u 'indahu illa biiznihii" (Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah kecuali seizin-Nya) dalam arti tidak ada lagi yang dapat melakukan sesuatu tanpa izin-Nya. Dia demikian perkasa sehingga berbicara dihadapan-Nya pun harus setelah memperoleh restu-Nya, bahkan apa yang disampaikan harus  sesuatu yang hak dan benar. Karena itu jangan menduga akan ada permintaan yang bertentangan dengan keadilan dan kebenaran.
Kini boleh jadi iblis belum putus asa meragukan pembaca ayat ini. Ia berkata lagi: "Musuh anda mempunyai rencana yang demikian rinci sehingga tidak diketahui Tuhan." Lanjutan ayat al-Kursi menampik bisikan ini : "Ya'lamu maa baina aidiihim wa maaa khalfahum" (Dia mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka). Yakni Allah mengetahui apa yang mereka lakukan
dan rencanakan baik yang berkaitan dengan masa kini dan datang maupun masa lampau, dan juga "wa laa yuhbithuuna bisya'i-in min 'ilmihi illa bimaasyaa-a". (Mereka tidak  mengetahui sedikitpun dari ilmu Tuhan melainkan  apa yang dikehendaki Tuhan untuk mereka ketahui)
Ini berarti bahwa apa yang direncanakan Tuhan tidak dapat mereka ketahui kecuali apa yang disampaikan Tuhan kepada mereka....
Untuk lebih menyakinkan lagi dinyatakan-Nya: "wasi'a kursiyuhus samawati wal ardhi (kekuasaan dan ilmu-Nya mencakup langit danbumi) bahkan alam raya seluruhnya.
Kini sekali lagi, boleh jadi iblis datang dengan godaan barunya. "Kalau demikian terlalu luas kekuasaan Tuhan dan terlalu banyak jangkauan urusan-Nya, Dia pasti letih dan bosan mengurus semua itu".
Penggalan ayat berikut sekaligus penutupnya menampik keraguan ini, dengan firman-Nya "Laa yauuduhuu hifzuhuma wa huwal 'aliyyul 'azhim" (Allah tidak merasa berat memelihara keduanya dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung).  
Demikian ayat al-Kursi menanamkan dalam jiwa pembacanya kebesaran dan kekuasaan, serta kemampuan Allah swt. memelihara dan melindungi siapa yang tulus bermohon kepada-Nya.
(Disarikan oleh Nadirsyah Hosen dari M. Quraish Shihab, "Hidangan Ilahi: Ayat-ayat Tahlil", Lentera Hati, Jakarta, 1996, h. 110-118)