29 Mei 2010

Makalah Kompilasi Hukum Islam

KOMPILASI HUKUM ISLAM SEBAGAI FIQH DI INDONESIA

I.          Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras. Letak geografis Indonesia yang berada di tengah-tengah dua benua, menjadikan negara ini terdiri dari berbagai ras, suku bangsa, dan agama.
Kemajemukan agama di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan sejarah bagaimana bangsa Indonesia itu muncul. Hal tersebut ditandai dengan munculnya banyaknya kerajaan di Indonesia yang menganut bermacam agama. Tidak diragukan lagi, perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia itu mengakibatkan adanya beberapa agama yang dianut oleh bangsa Indonesia pada masa-masa selanjutnya. Agama bagi bangsa Indonesia merupakan potensi yang besar.
Sebagai potensi, pada satu sisi agama dapat menjadi pendorong dan pendukung arah pembangunan Indonesia. Pada sisi yang lain, isu tentang agama dapat menjadi pemicu konflik antarumat beragama. Oleh sebab itu, hubungan baik antarumat beragama yang terwujud dalam tiga kerukunan hidup beragama Indonesia diharapkan selalu terwujud dalam perjalanan hidup bangsa. Setiap agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan. Setiap penganut terpanggil untuk menanamkan dominasi kebenaran dan keselamatan mutlak pada pihaknya serta kesesatan dan kecelakaan fatal pada pihak yang lain. Interpretasi yang berbeda dan pemikiran teologis yang berlain mengenai konsep ini merupakan sumber perselisihan antarumat beragama.
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Kehadiran Kompilasi Hukum Islam sebagai jaminan pelaksanaan hukum agama Islam dalam kehidupan bernegara, dilihat dari sudut pandang politik hukum menampakkan dua hal. Pertama Kompilasi Hukum Islam, yang berlaku khusus bagi umat Islam. Menunjukkan bahwa dalam rangka pembinaan hukum nasional, unifikasi hukum sebagai pelaksanaan wawasan nusantara tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya (secara kaku), demi kepentingan yang harus lebih dijamin yaitu kepentingan untuk memberikan ruang gerak bagi kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum agama.
Kedua, adanya hak kelompok tertentu dalam masyarakat dalam hal ini ummat islam untuk melaksanakan hukum agamanya tidak dapat ditawar. Dalam kaitanya dengan slogan bhineka tunggal ika, kesempatan yang diberikan oleh pemerintah bagi dibentuk dan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam adalah bentuk ke-bhinneka-an dalam kesadaran menjalankan hukum agama, namun tetap tunggal ika dalam wadah Negara Rukum Republik Indonesia.

II.         Rumusan Masalah
Berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum di Indonesia  yang disamping harus sesuai dengan Islam juga harus sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia. Ada beberapa masalah yang menarik untuk dikaji. Dalam tulisan ini beberapa dari masalah tersebut yang akan dikaji adalah sebagai berikut:
1.    Apakah pengertian kompilasi hukum islam?
2.    Bagaimanakah posisi KHI sebagai fiqh Indonesia?
3.    Bagaimanakah kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam tata hukum Indonesia?
4.    Bagaimanakah penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia?
5.    Bagaimanakah Kemungkinan pengembangan Hukum Islam di Indonesia dimasa mendatang?

III.        Pembahasan
a.    Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam adalah seperangkat ketentuan hukum Islam yang senantiasa menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan, yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, menghargai hak-hak kaum perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Semua ketentuan tersebut hendak digali dan dirumuskan dari sumber-sumber Islam yang otoritatif, al-Qur’ân dan al-Sunnah, melalui pengkajian terhadap kebutuhan, pengalaman, dan ketentuan-ketentuan yang hidup dalam masyarakat Indonesia, khazanah intelektual klasik Islam, dan pengalaman peradaban masyarakat Muslim dan Barat di belahan dunia yang lain.
Kompilasi Hukum Islam terbentuk dengan cara menghimpun dan menseleksi berbagai pendapat fiqh mengenai persoalan kewarisan, perkawinan dan perwakafan dari kitab-kitab fiqh yang berjumlah 38 kitab.[1]

b.    KHI Sebagai Fiqh Indonesia
Kebudayaan Islam sering disebut-sebut sebagai kebudayaan fiqh. Anasir ini tampaknya merunut pada posisi fiqh yang adiluhung dalam kehidupan umat Islam. Karena menjadi bagian paling intim itu regulasi fiqh melalui institusi Negara dipandang perlu dan vital oleh sebagian besar umat Islam termasuk dinegeri ini. Dorongan ini bukan hanya tendensi teologis semata, melainkan juga alas an sosiologis dan politis.
Alasan politis dan sosiologis berkaitan dengan eksistensi hukum Islam sebagai pendatang dinegeri ini. Konflik pluralisme tradisi hukum membuktikan itu. Bahwa secara sosiologis hukum Islam telah menjadi begitu penting disamping kebaradaan hukum adat dan hukum sipil, yang pada saatnya  nanti sama-sama menjadi amunisi dalam pembentukan hukum asosias.
Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara yang tidak sekuler dan teokratis selanjutnya membawa implikasi terhadap paradigma pengembangan hukum Islam. Fiqh yang mulanya dinamis dan fleksibel tiba-tiba perlu diregulasikan. Ini merupakan dampak dari proses akomodasi terhadap kekuatan politik Islam yang menghendaki tuntutan pelaksanaan atas hukum Islam. Karena itulah, wajah-wajah akomodatif itu hingga kini dapat terlihat dalam berbagai regulasi. Salah satunya adalah Kompilasi Hukum Islam yang disahkan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991(Bachtiar Effendi: 1998).
Perlu dipahami, dalam hal kita perlu memposisikan KHI dalam ruang discourse yang berkelindan dengan fenomena-fenomena di sekitarnya. Bagaimanapun KHI merupakan langkah positivisasi hukum Islam karena disahkan oleh negara yang menganut aliran positivisme yuridis. Aliran ini berpendapat bahwa hukum dapat diterima setelah mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Dalam perspektif inilah Marzuki Wahid dan Rumadi (2001) kemudian menjuluki fiqh mazhab ne- gara untuk KHI.
Penyebutan itu didasari bahwa KHI merupakan fiqh yang dalam proses inisiasi, perumusan dan pengesahan berada di tangan negara atau perpanjangan tangannya. Fiqh yang secara terminologis berarti al-fahmu (pemahaman) masuk dalam ruang sensor negara sehingga nilai benar atau tidaknya ditentukan oleh negara. Ruang imajinasi ini semakin dikukuhkan dengan anggapan KHI sebagai fiqh Indonesia yang genesisnya dapat kita temukan dalam pemikiran Hasbi ash-Shiddieqy dan Hazairin.
Fiqh yang berkembang pada masyarakat sekarang sebagiannya adalah fiqh Hijazi yaitu fiqh yang terbentuk atas dasar adat istiadat yang berlaku di Hijaz, atau faqih Mishry yaitu fiqh yang terbentuk atas dasar adat istiadat atau kebiasaan Mesir. Selama ini kita belum menunjukkan kemampuan untuk berijtihad mewujudkan fiqh yang sesuai dengan kepribadian Indonesia, karane itu kadang-kadang kita paksakan fiqh Hijaz atau Mishry atau fiqh irak yang berlaku di Indonesia atas dasar taklid[2].

c.    Kedudukan KHI dalam tata hukum Indonesia
Dalam konteks sosiologis kompilasi yang bersubtansi hukum islam itu jelas merupakan produk keputusna politik. Instrument hukum politik yang digunakan adalah Inpres no.1 tahun 1991. Selain formulasi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia, KHI bisa disebut sebagai representasi dari sebagian substansi hukum material Islam yang dilegislasikan oleh penguasa politik pada zaman orde baru[3].
Dengan demikian KHI mempunyai kedudukan yang penting dalam tata hukum Indonesia. Karena merupakan sebuah produk hukum dari proses politik orde baru. Karena itu selain bersifat nisbi, KHI dengan segala bentuknya, kecuali ruh hukum Islamnya, merupakan cerminan kehendak social para pembuatnya. Kehadiranya dengan demikian sejalan dengan motif-motif social, budaya dan politik tertentu dari pemberi legitimasi, dalam hal ini rezim politik orde baru.
Perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik tertentu senantiasa melahirkan produk hukum yang memiliki karakter tertentu. Konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsive/populistik, sedangkan konfigurasi politik otoriter senantiasa akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks[4].
Pengaruh politik hukum terhadap KHI akan menjadi karakter-karakter politik hukum Islam di Indonesia. Pengaruh tersebut akan membawa konsekuensi untuk memperbincangkan kembali diskursus hukum agama dan hukum Negara di dalam wadah Negara Pancasila. Keberadaan hukum islam harus diselaraskan dengan visi pembangunan hukum yang dicanangkan Negara. Disini lalu terjadi proses filterisasi terhadap materi hukum Islam oleh Negara.
Dengan demikian, secara ideologis KHI berada pada titik tengah antara paradigm agama dan paradigma Negara[5]. Dalam paradigm agama, hukum Islam wajib dilaksanakan oleh Umat Islam secara kaffah, tidak mengenal ruang dan waktu. Penerapannya dalam kehidupan social menjadi misi agama yang suci[6]. Dengan kata lain bahwa hukum Islam berada dalam penguasaan hukum Negara dengan mempertimbangkan pluralitas agama, etnis, ras dan golongan. Hasil interaksi dari dua paradigma yang berbeda itu merupakan wujud nyata politik Negara terhadap hukum islam di Indonesia. Karena itu KHI merupakan satu-satunya hukum materiil Islam yang memperoleh legitimasi politik dan yuridis dari Negara.

d.    Penerapan KHI Di di Indonesia
Ada dua hal yang menjadi pertimbangan sehingga KHI penting untuk disebarluaskan, pertama karena KHI diterima oleh Majelis Ulama Indonesia. Kedua Karena KHI bisa dipergunaka sebagai pedoman dalam menyelesaikan maslaah-masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan, baik oleh instansi pemerintah maupun masyarakat yang memerlukannya.
KHI bisa dijadikan pedoman bagi hakim dilingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Maka tampak sebetulnya fungsi pedoman itu ditujukan bagi para hakim dilingkungan Badan Peradilan Agama. Sedangkan masyarakat yang disebutkan hanya bersifat tawaran alternative.
Implementasi Kompilasi Hukum islam bersifat fakultatif, yaitu ketentuan-ketentuan hukum islam yang boleh dikatakan sebagai hasil ijtihad kolektif ala Indonesia yang tertuang dalam Inpres no. 1 Tahun 1991, itu tidak secara priority mengikat dan memaksa warga Negara Indenesia, khususnya ummat Islam. KHI bersifat anjuran dan alternative hukum[7].

IV.       Penutup
a.    Kesimpulan
KHI atau Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan hukum materiil yang akan dipakai oleh hakim di lingkungan peradilan agama sebagai panduan dalam memutus perkara. KHI ditetapkan melalui Inpres No. 1/1991. Sebelum ada kompilasi ini, para hakim peradilan agama praktis tak mempunyai pegangan resmi menyangkut hukum materiil yang akan mereka pakai. Mereka merujuk secara individual pada kitab-kitab fikih klasik (kitab kuning). Tetapi, karena pendapat hukum dalam literatur klasik itu bisa berselisih, keputusan hakim juga bisa berbeda-beda dalam kasus yang sama, bergantung pendapat ulama yang ia ikuti. Ide KHI muncul sebagai upaya untuk "menstandarkan" hukum materiil di lingkungan peradilan agama. Dengan demikian, KHI juga bisa dipandang sebagai fikih resmi berbahasa Indonesia. Dari segi ini, kemunculan KHI adalah suatu kemajuan besar. Sebab, untuk pertama kalinya fikih diartikulasikan kembali dalam formula hukum positif modern. Masalah muncul ketika KHI hendak ditingkatkan statusnya menjadi undang-undang agar kekuatan hukumnya lebih kukuh. Saya memandang, KHI memang semata-mata memindahkan diktum-diktum hukum fikih klasik begitu saja. KHI sama sekali tidak mempertimbangkan munculnya sensitivitas sosial baru, misalnya keadilan gender. Karena hanya memindahkan fikih klasik, banyak pasalnya mengandung diskriminasi atas perempuan. Contohnya, soal pembagian harta waris dengan formula 2 : 1 bagi perempuan. Atau soal saksi nikah, tempat menurut ketentuan fikih klasik perempuan tidak diperbolehkan menjadi saksi. Atau soal kedudukan kepala keluarga yang, sesuai dengan konsep qawamah (kepemimpinan keluarga) dalam Quran, menjadi monopoli laki-laki. Karena alasan-alasan itulah, KHI memang harus diperdebatkan lagi. Tidak semua ketentuan dalam fikih klasik adalah absah untuk konteks zaman kita. Hukum sudah selayaknya berkembang sesuai dengan diktum teori fikih, al hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman (hukum selalu berkembang seturut dengan alasan-alasan yang menjadi latar belakangnya). Bagaimanapun, hukum adalah refleksi kondisi sosial. Jika kondisi berubah, dengan sendirinya ia harus ikut berubah pula. Bahkan berbagai ketentuan legal yang secara eksplisit terdapat dalam Quran pun tidak diniatkan oleh Tuhan sebagai hukum yang abadi. Memang tidak mudah mereformasi hukum keluarga Islam. Sebagaimana di katakan di awal tulisan ini, keluarga adalah wilayah keramat tempat ketentuan-ketentuan keagamaan yang patriarkal sangat dominan. Tetapi, usaha untuk mencoba menggeser batas-batas yang mungkin diperbaharui dalam hukum Islam layak terus-menerus dicoba. KHI adalah ladang untuk percobaan itu.

   
Daftar Pustaka

Wahid  Marzuki & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001

Mahfud, Moh, MD, Perkembangan Politik Hukum, Yogyakarta, 1993,

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1999

Yusdani,  Amir Mu’amm, Ijtihad dan Legilasi Muslim Kontemporer, UII Press

Basyir, KH. Ahmad Azhar, MA, Asas-Asas Hukum Muamalat. UII Press


[1] Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001, Hal 155
[2] Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001, Hal 130
[3] Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001, Hal 144
[4] Moh.Mahfud, MD, Perkembangan Politik Hukum, Yogyakarta, 1993, Hal. 675-676
[5] Posisi ini tidak berarti mendikotomikan agama dan Negara, atau Islam dan Pancasila, akan tetapi mengindikasikan bahwa hubungan simbiotik agama dan Negara belum menemukan pola yang baku, masih dalam proses pencarian.
[6] Tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah: 42, 44, 45, 47, 48, 49
[7] Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001, Hal 178

2 komentar:

  1. TENKS YA MASBROOO..AKU MERASA TERBANTU.WWW.mujahidintempos.wordpress.com

    BalasHapus
  2. ok, menambah referensi dalam manhaj al fiqh

    BalasHapus