BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pondok Pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, di mana kiai, ustadz, santri dan pengurus pondok pesantren hidup bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya. Pondok Pesantren juga merupakan suatu keluarga yang besar dibawah binaan seorang kyai atau ulama di bantu oleh ustadz, semua rambu-rambu yang mengatur kegiatan dan batas-batas perbuatan : halal-haram, wajib-sunnah, baik-buruk dan sebagainya itu berangkat dari hukum agama islam dan semua kegiatan dipandang dan dilaksanakan sebagai bagian dari ibadah keagamaan, dengan kata lain semua kegiatan dan aktivitas kehidupan selalu dipandang dengan hukum agama Islam.
Pada kenyataannya pondok pesantren dengan fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam juga berfungsi sebagai tempat penyiaran agama Islam dimana para santri (santriwati/santriwan) dididik untuk bisa hidup dalam suasana yang bernuansa agamis, maka dari itu pondok pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral/perilaku bagi masyarakat umum.
Masyarakat umum memandang pondok pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal terutama dalam bidang kehidupan moral/perilaku. Dan bahkan pondok pesantren dianggap sebagai tempat mencari ilmu dan mengabdi, tetapi pengertian ilmu menurut mereka tampak berbeda dengan pengertian ilmu dalam arti science. Ilmu bagi mereka, ilmu dipandang suci dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran agama. Mereka selalu berfikir dalam kerangka keagamaan, artinya semua peristiwa empiris dipandang dalam struktur relevansinya dengan ajaran agama.
Namun dalam beberapa tahun terakhir ini berita dan opini terorisme, baik di media cetak maupun media elektronik, pondok pesantren di klaim sebagai sarang teroris, tempat dimana para teroris digembleng dan dididik. Contoh kasus dengan ditangkapnya AMROZI seorang santri yang lugu dari desa tenggulun, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa timur sebagai pelaku pengeboman di Bali dan sebelumnya muncul kepermukaan bahwa ABU BAKAR BA’ASYIR (pimpinan pondok pesantren Al-Mukmin ngruki, Solo) terlibat dalam pengeboman tersebut.
Dengan adanya fenomena seperti halnya diatas pondok pesantren kemudian di obok-obok dengan tuduhan-tuguhan seperti yang ada dalam media massa. Pertanyaaan kemudian “Apakah proporsional mencurigai "asal-usul" institusi pendidikan seorang pelaku kejahatan seraya membuat kesimpulan yang sifatnya mutlak? “
Pondok Pesantren klasik dan modern dalam pengamatan penulis sebagai salah satu pondok pesantren dan sekaligus salah satu lembaga pedidikan yang ada di Indonesia (ini tidak bersifat ilmiah) dalam kehidupan sehari-hari terlihat semua berjalan seperti apa yang diinginkan oleh pihak pengurus pondok pesantren, mereka hidup dalam nuansa yang islami, pola interaksi diantara para penghuni pondok pesantren terlihat sangat ramah dan semua berpedoman pada aturan yang telah disepakati.
Namun, dalam pengamatan penulis di sisi lain sebagian besar dari alumni pondok pesantren ini setelah meninggalkan pondok pesantren dan memasuki dunia baru yaitu dunia perguruan tinggi (mahasiswa) dengan serta merta kemudian dengan gampang melepas identitas mereka sebagai santri yang kemudian mencoba berbagai macam kehidupan dalam pergaulan yang ada dilingkungan baru mereka tanpa ada pertimbangan bahwa mereka adalah alumni pondok pesantren yang seharusnya menyiarkan dakwah agama Islam dan menjadi suri teladan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan uraian diatas penulis kemudian tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang pondok pesantren, maka penulis memberi judul dari makalah ini : PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM.
1.2 Rumusan Masalah
Pondok pesantren di samping berfungsi sebagai lembaga pendidikan formal juga berfungsi sebagai tempat penyiaran dakwah Islam, dan wadah pembinaa remaja yang ternyata dalam realitas kehidupan banyak menimbulkan pertanyaan tentang kehidupan internal mereka sendiri.
Berkaitan dengan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka penulis memberikan batasan/rumusan masalah sebagai berikut :
a. Apa sebetulnya Pesantren itu?
b. Bagaimanakah Peranan Pesantren dalam Pembangunan Nasional?
c. Bagaimanakah Kemampuan Pesantren dalam Mengontrol Perubahan Nilai?
d. Bagaimanakah Pola Pendidikan di Pesantren dan Sumbangannya dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional?
e. Bagaimana dengan Kebijakan Diknas Dan Revitalisasi Pesantren?
f. Bagaimana Prediksi anda Tentang Pesantren Masa Depan?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Berkenalan Dengan Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang tertua di Indonesia setelah rumah tangga. Namun masih banyak “Rahasia” pesantren yang belum diungkapkan oleh para peneliti. Diantaranya adalah bagian-bagian yang sangat sulit diungkapkan.
Menurut para ahli pesantren baru dikatakan pesantren bila memenuhi lima syarat yaitu (1) Ada kiai, (2) Ada pondok, (3) Ada masjid, (4) Ada santri, (5) Ada pengajaran baca kitab kuning
Peran pesantren dimasa lalu kelihatan paling menonjol dalam hal menggerakkan, memimpin, dan melakukan perjuangan dalam rangka mengusir penjajah. Muhammad Mansur Surya Negara, seorang pakar sejarah dari Universitas Padjadjaran Bandung pernah mengatakan bahwa sulit mencari gerakan untuk melawan penjajah di Indonesia ini yang bukan digerakan dan dipimpin oleh orang pesantren.
Peran pesantren dimasa sekarang juga amat jelas, contoh yang paling nyata ialah sulitnya pemerintah memasyarakatkan program bila tidak melalui pemimpin pesantren, contoh lainnya ialah banyaknya pemimpin politik “Mendekati” pesantren, terutama menjelang pemilihan umum.
Tujuan terbentuknya pondok pesantren adalah :
1. Tujuan umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballiqh islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
2. Tujuan khusus
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.
2.2 Pesantren dan peranannya dalam pembangunan Nasional
Zamakh Syari Dhofir (1982 : 44) mencoba mengklasifikasikan pesantren dari jumlah santri. menurutnya pesantren yang santrinya kurang dari 1000 dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten disebut pesantren kecil. Santri antara 1000-2000 dan pengaruhnya pada beberapa kebupaten disebutnya pesantren menengah, bila santrinya lebih dari 2000 dan pengaruhnya tersebar pada tingkat beberapa tingkat kabupaten dan propinsi dapat digolongkan sebagai pesantren besar.
Setidaknya ada dua macam pendekatan yang dapat dipergunakan dalam memandang kaitannya antara agama dan pembangunan, termasuk pembangunan agama, yaitu pendekatan yang bersifat suplementer dan komplementer. pendekatannya yaitu :
1. Agama hanyalah penunjang bagi upaya pemberdayaan pembangunan karena ia mempengaruhi ola tingkah laku manusia yang sedang membangun, baik kehasirannya sebagai individu maupun secara kolektif
2. Menghendaki keterlibatan agama atau lembaga keagamaan dalam proses pembangunan, metode, dan sarana yang diperlakukan untuk maksud tersebut.
Dengan semikian Agama sejak awal telah terlibat dalam proses pembangunan, dan bukan hanya bukan sebagai faktor penunjang, didalam GBHN, baik pada tahun 1992-1997 maupun tahun 1997-2003 telah terjadi pergeseran yang lebih menekankan pada pendekatan kedua. Berbagai terobosan dalam peningkatan sumber daya manusia yang berasaskan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Adalah satu kata yang konkret untuk mengartikulasikan penyataan dimaksud.
Kehadiran pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang dahulu disebut tradisional, kini semakin diminati oleh banyak kalangan termasuk masyarakat kelas menengah atas. menurut data didepartement agama, bahwa dari 8.991 pondok pesantren saat ini, terdapat 1.598 berada didaerah perkotaan (18%) sedang yang diwilayah pedesaan sebanyak 7.393 (82%) dengan demikian terdapat pergeseran dari tahun ketahun dengan melihat kecenderungan ini, maka di prediksikan suatu saat nanti akan terjadi penimbangan jumlah pesantren antara kota dan desa.
Menarik juga klasifikasi yang diajukan oleh Wardi Bakhtiar tatkala membagi pesantren menjadi dua macam, dilihat dari macam pengetahuan yang diajarkan menurutnya (1990 : 22) dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
1. Pesantren salafi, yaitu pesantren yang mengajarkan kitab-kitab klasik. Sistem madrasah diterapkan untuk mempermudah tekhnik pengajaran sebagai pengganti metode sorogan. Pada pesantren ini tidak diajarkan ilmu umum.
2. Pesantren khalafi, yaitu selain memberikan pengajaran kitab islam klasik juga membuka sistem sekolah umum dilingkungan dan dibawah tanggungjawab pesantren.
Pada tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang mumpuni, yaitu didalamnya didirikan sekolah baik secara formal maupun nonformal. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan yaitu :
1. Mulai akrab dengan mitodologi ilmiyah modern
2. Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka pada perkembangan diluar dirinya
3. Difersifikasi program dan kegiatan makinterbuka dan ketergantunganpun absolut dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan diluar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan dilapangan kerja
4. Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat[1].
Kecenderungan-kecenderungan tersebut bukan berarti pondok pesantren telah menduduki posisi sebagai lembaga yang paling elit, tetapi ditengah-tengah arus perubahan sosial-budaya justru kecenderungan tersebut menjadi masalah baru yang perlu dipecahkan yaitu :
1. Masalah integrasi pondok pesantren kedalam sistem pendidikan nasional.
2. Masalah pengembangan wawasan sosial, budaya, dan masalah ekonomi.
3. Masalah pengalaman kekuatan dengan pihak-pihak lain untuk mencari tujuan membentuk masyarakat ideal yang diinginkan.
4. Masalah berhubungan dengan keimanan dan keilmuan sepanjang yang dihayati pondok pesantren[2].
Dipihak lain, pondok pesantren kini mengalami transportasi kultur, sistem dan lainnya. Pondok pesantren yang dikenal dengan “Salafiah” kini telah berubah dengan menjadi “Khalafiah’. Tranformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan kepada pesantren dalam arus tranformasa kini sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis.
2.3 Kemampuan Pesantren Dalam Mengontrol Perubahan Nilai
Almarhum KH. Abdul Rahman Wahid, orang yang dianggap cukup mengetahui hal ikhwal pesantern, melaporkan Teori Geertz yang menurutnya kiai berperan sebagai penyaring arus informasi yang masuk kelingkungan kaum santri, menularkan apa yang dianggap berguna dan membangun apa yang dianggap merusak, teori ini menetapkan kiai sebagai filter nilai. Selanjutnya dikatakan bahwa peranan penyaring itu akan macet manakala arus imformasi yang masuk terlalu deras. Dalam keadaan demikian kiai akan peranannya dalam merekayasa budaya. Kiai juga ditemukan mempunyai peranan aktif selain meredam akibat perubahan yang dibawa arus informasi juga mempelopori terjadinya perubahan masyarakat menurut caranya sendiri.
Beberapa indikator pergeseran nilai yang dialami oleh pondok pesantren, diantaranya seperti dikemukakan oleh Dr. Mastuhu yaitu :
Kiai bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Dengan semakin beranekaragam sumber belajar baru, maka semakin tinggi dinamika komunikasi antara sistem pendidikan pondok pesantren dengan sistem yang lain.
Seiring dengan pergeseran nilai dimaksud maka kebanyakan santri saat ini membutuhkan ijazah dan penguasaan bidang keahlian keterampilan yang jelas agar dapat mengantarkannya untuk menguasai dan memasuki lapangan kehidupan baru. Dalam kehidupan modern, kita tidak cukup hanya dengan berbekal moral yang baik, tetapi perlu dilengkapi dengan keahlian (skill) atau keterampilan yang relevan dan sinergis dengan kebutuhan dunia kerja.
Jadi jelaskan bahwa resistensi pesantren dalam globalisasi budaya dapat diyakini adanya, tetapi kerja sama dengan pihak luas pesantren sangat diperlukan.
2.4 Pendidikan di Pesantren dan Sumbangannya dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional.
Tujuan Pendidikan Nasional sebagimana tercantum di dalam pasal 4 UUSPN adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Mastuhu, ada 10 prinsip yang berlaku pada pendidikan di pesantren. Kesepuluh prinsip itu menggambarkan kira-kira 10 dari utama tujuan pendidikan pesantren antara lain :
1. Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran islam
2. Memiliki kebebasan yang terpimpin
3. Berkemampuan mengatur diri sendiri
4. Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi
5. Menghormati orang tua dan guru
6. Cinta kepada ilmu
7. Mandiri
8. Kesederhanaan
2.5 Kebijakan Diknas Dan Revitalisasi Pesantren
a. Kebijakan Diknas
Merujuk pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren memiliki tempat istimewa. Namun, ini belum disadari oleh mayoritas Muslim. Ini karena kelahiran UU tersebut amat belia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal berikut.
Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Eksistensi pesantren sebagai motor penggerak pendidikan keagamaan mendapat legitimasi yang kuat dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 30 menjelaskan, pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.
Pesantren yang merupakan pendidikan berbasis masyarakat juga diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Ketentuan tersebut mestinya semakin membuka peluang pesantren terus bertahan dan berkontribusi mengembangkan pendidikan keagamaan formal maupun nonformal. Dengan demikian, pesantren mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, kreatif, memiliki skill dan kecakapan hidup profesional, agamis, serta menjunjung tinggi moralitas.
Pesantren tidak perlu merasa minder, kolot, atau terbelakang. Posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kenyataannya, amanat UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen serta beberapa peraturan pemerintah lainnya masih belum berpihak pada dunia pesantren. Pesantren nyaris tidak pernah disentuh dan dilibatkan dalam kebijakan sistem pendidikan nasional. Revitalisasi pendidikan pesantren yang diamanatkan UU Sisdiknas pun terabaikan.
b. Revitalisasi Pesantren
Untuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU No 20/2003, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren.
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus lebih meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dengan intensif dalam pelaksanaan dan pengelolaan pesantren. Upaya merevitalisasi dan memodernisasi pesantren tentu saja harus sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Paling tidak, hal ini bisa dilakukan melalui beberapa terobosan. Pertama, menghapus dikotomi dan diskriminasi terhadap pendidikan pesantren yang selama ini dipandang sebagai bukan bagian dari sistem pendidikan nasional. Kedua, diperlukan adanya pola pendidikan dengan terobosan kurikulum terpadu yang memadukan antara pendekatan sains, agama, dan nilai kebangsaan. Dengan begitu, upaya penanaman nilai agama, moral, dan nilai kebangsaan pada anak didik dapat mencapai sasaran pembelajaran.
Ketiga dan yang tak kalah penting lagi adalah upaya peningkatan kualifikasi, profesionalitas dan kesejahteraan guru pesantren sebagaimana amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sehingga, guru-guru di pesantren bisa mengajar dengan nyaman dan merasakan hidup yang sejahtera.
Sudah saatnya kita lebih memperhatikan dunia pendidikan pesantren. Pesantren harus ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pesantren telah memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan generasi berkualitas dan mampu menjaga moralitas bangsa.
2.6 Prediksi Tentang Pesantren Masa Depan
Apabila seluruh peserta kita anggap satu, maka kita akan memperoleh gambaran tentang masyarakat itu sendiri. Dalam islam ada tiga paradigma besar pengetahuan.
1. Paradigma sains, ini adalah suatu pengetahuan yang diperoleh dengan akal dan indra. Paradigma ini adalah paradigma logis empiris.
2. Paradigma logis, yaitu mencari pengetahuan pada objek-objek abstrak tetapi logis. Hasilnya ialah pengetahuan filsafat, pengetahuan filsafat itu logis tetapi tidak empiris.
3. Paradigma mistik, yaitu suatu cara memperoleh pengetahuan tentang objek abstrak suprelogis, dengan datu (rasa). Dengan paradigma ketiga inilah tasawuf itu diketahui dan dipahami.
Bila benar kelak pesantren mampu mengambil ketiga paradigma itu, maka nilai-nilai lama positif akan bertahan pada pesantren. Sementara nilai baru akan terseleksi, pesantren tidak akan gugup menghadapi arus globalisasi.
BAB III
KESIMPULAN
Pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang tertua di Indonesia setelah rumah tangga. Menurut para ahli pesantren baru dikatakan pesantren bila memenuhi lima syarat yaitu (1) Ada kiai, (2) Ada pondok, (3) Ada masjid, (4) Ada santri, (5) Ada pengajaran baca kitab kuning.
Pondok Pesantren juga merupakan suatu keluarga yang besar dibawah binaan seorang kyai atau ulama di bantu oleh ustadz, semua rambu-rambu yang mengatur kegiatan dan batas-batas perbuatan : halal-haram, wajib-sunnah, baik-buruk dan sebagainya itu berangkat dari hukum agama islam dan semua kegiatan dipandang dan dilaksanakan sebagai bagian dari ibadah keagamaan, dengan kata lain semua kegiatan dan aktivitas kehidupan selalu dipandang dengan hukum agama Islam.
Pada kenyataannya pondok pesantren dengan fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam juga berfungsi sebagai tempat penyiaran agama Islam dimana para santri (santriwati/santriwan) dididik untuk bisa hidup dalam suasana yang bernuansa agamis, maka dari itu pondok pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral/perilaku bagi masyarakat umum.
Kehadiran pesantren saat ini menjadi titik sentral kajian para ahli, karena nuansa-nuansa yang dicanangakan dan dilaksanakan dalam pesantren sangat unik, sehingga tidak sedikit para ahli mengeritik atau juga melihat segi positifnya, karena kondisinya yang serba lain, salah satunya yaitu pesantren sebagai komonitas dan sebagai lembaga pendidikan yang besar jumlahnya dan luas penyebarannya diberbagai pelosok tanah air telah banyak memberikan saham dalam pembentukan manusia Indonesia yang religius.
Dalam hal ini sebetulnya tujuan dari didirikannya pondok pesantren adalah
1. Tujuan umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballiqh islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
2. Tujuan khusus
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.
Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan yaitu :
1. Mulai akrab dengan mitodologi ilmiyah modern
2. Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka pada perkembangan diluar dirinya
3. Difersifikasi program dan kegiatan makinterbuka dan ketergantunganpun absolut dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan diluar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan dilapangan kerja
4. Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Untuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU No 20/2003, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir, Dr. Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosda Karya.
Suswendi, M.Ag. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Rajawali Pers.
Drs. Muhaimin, MA - Mujib, Drs. Abdul. Pemikiran Pendidikan Islam dan Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Bandung: Trigenda Karya, 1993.
[1] Rusli Karim M, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Tranformasi Sosial-Budaya dalam Muslih Usa (ed) Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991, hlm.134
[2] Karim Rusli M, Dinamika Islam di Indonesia, Suatu Tinjauan Sosial dan Politik, Yogyakarta: Hanindita, 1985 hlm. 139
Tidak ada komentar:
Posting Komentar