I. PENDAHULUAN
Di dalam al-Qur’an, Islam dinyatakan sebagai satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah. Wahyu Allah sebagai sumber pokok ajaran agama Islam yang turunnya berakhir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sedangkan makhluk yang paling sempurna adalah manusia yang dianugerahi akal dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah.
Oleh karena itu, timbullah permasalahan-permasalahan dari adanya dua sumber pengetahuan yang berlainan sifat ini. Pengetahuan mana yang lebih dapat dipercaya, pengetahuan melalui akal atau pengetahuan melalui wahyu?
Untuk memecahkan masalah tersebut, dalam makalah ini saya akan mencoba menguraikannya.
II. RUMUSAN MASALAH
Sebelum makalah ini dibahas lebih dalam terlebih dahulu makalah ini dirumuskan masalahnya, agar dalam pembahasannya makalah ini tidak keluar dari pokok bahasan. Perumusan masalah tersebut meliputi :
1. Apa pengertian Akal, Indera dan Wahyu?
2. Apa saja karakteristik wahyu, Potensi indera dan pentingnya akal?
3. Apa saja kekuatan akal dan wahyu?
4. Apa batasan-batasan akal, indera dan wahyu?
5. Apa saja fungsi-fungsi akal wahyu?
III. KAJIAN PUSTAKA
Kemampuan akal manusia dan fungsi wahyu, terutama terhadap empat masalah utama, yaitu mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Menurut Mu’tazilah, akal mampu untuk mengetahui keempat masalah tersebut. Wahyu hanya berfungsi sebagai konfirmasi, meskipun dalam hal-hal tertentu juga berfungsi sebagai informasi. Demikian juga halnya dengan aliran Maturidiyah Samarkand, pendapatnya dekat dengan Mu’tazilah. Sedangkan menurut Asy’ariyah, akal hanya mempunyai kemampuan untuk mengetahui Tuhan sedangkan tiga masalah lainnya hanya mampu diketahui lewat wahyu. Dalam pandangan aliran ini wahyu berfungsi sebagai informasi. Demikian juga halnya dengan Maturidiyah Bukhara, aliran ini sependapat dengan Asy’ariyah.
Menurut Ridhâ, akal berperan terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebut secara rinci dalam al-Qur’an dan hadits serta untuk mengetahui ajaran Islam yang berhubungan dengan muamalat atau kehidupan duniawi. Dalam bidang ibadah khassah akal tidak mampu mengetahuinya.[1] Objek ijtihad menurutnya hanyalah dalam bidang kemasyakatan bukan dalam bidang ibadah khassah, karena persoalan kemasyarakatan mengalami perubahan, sedangkan persoalan ibadah khassah tidak mengalami perubahan. Menurutnya akal penting dalam memberikan interpretasi terhadap persoalan-persoalan teologis( memahami ayat-ayat al-Qur’an dan meneliti hadits nabi dan pendapat sahabat.
Akal manusia tidak dapat mengetahui Tuhan dan segala kewajiban terhadap-Nya. Adapun untuk memperoleh hikmah dan hujjah serta kemantapan pemahaman tentang ketuhanan setelah mengikuti wahyu, akal manusia mempunyai fungsi yang sangat signifikan dan kedudukan tinggi. Dalam pandangan Ridhâ, wahyu lebih banyak berfungsi sebagai informasi dari pada konfirmasi. Wahyu berfungsi memberikan informasi tentang segala perincian terhadap apa-apa yang diinformasikan wahyu. Oleh karenanya, wahyu memiliki posisi penting lagi tinggi.
Wahyu dalam pandangan Ridhâ berfungsi untuk memberikan informasi kepada manusia tentang persoalan-persoalan keyakinan bersyukur kepada Allah dan memberikan ketentuan umum dan bersifat garis besar tentang perbuatan-perbuatan yang ditetapkan syari’at.[2]
Merujuk apa yang dikatakan Harun Nasution, corak pemikiran seperti ini, sesuai dengan corak teologi tradisional. Dalam hal ini, Ridhâ amat tradisional dalam memahami fungsi akal dan wahyu. Namun demikian, menurut hemat penulis, Ridhâ adalah seorang yang amat hati-hati untuk memainkan peran akal secara lebih dari padan peran wahyu.
Membaca dan memahami corak teologi Ridhâ dapat dipahami, ia sangat tradisional. Buktinya, untuk urusan akal dan fungsi wahyu, ia lebih akrab dengan teologi tradisional. Dalam hal kebebasan berpikir, berkehendak, dan berbuat, pendapatnya lebih dekat kepada teologi rasional. Dalam hal perbuatan dan keadilan, ia berada pada pendapat rasional.
Sebagai bukti pengakuan Ridhâ dalam menempatkan posisi akal, dapat dilihat ketika menafsirkan surat al-Nisâ’ : 165 dan al-Isrâ’ : 15:
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[3]
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.[4]
Dalam menafsirkan ayat pertama, Ridhâ mengatakan bahwa hikmahnya Allah mengutus para rasul antara lain agar di akhirat nanti orang-orang yang dihisabkan Allah tidak dapat berdalih atas perbuata dosa mereka. Pengertian ayat pertama dan semua yang senada dengan itu adalah sekiranya Allah tidak mengutus para Rasul-Nya, di akhirat nanti di orang-orang akan memprotes kenapa mereka dihukum di akhira dan dihukum di dunia. Padahal, hukuman mereka teri itu adalah akibat kelaliman sendiri.[5]
IV. PEMBAHASAN
4.1 Pengertian
a. Akal
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql, yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy, tidak terdapat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh dalam 1 ayat, ta’qiluun 24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat dan ya’qiluun 22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Tapi ini timbul pertanyaan apakah pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui akal yang berpusat dikepala?
Dalam al-Qur’an sebagai dijelaskan dalam surat al-Hajj ayat 46 yang dikatakan bahwa pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Sebagaimana ayat berikut :
Dan ayat yang lainpun menjelaskan juga bahwa tidak disebutkan bahwa akal adalah daya pikir yang berpusat di kepala. Al-‘Aql malahan dikatakan sama dengan al-qolb yang berpusat di dada.
Memang banyak sekali pendapat-pendapat yang menguraikan tentang pengertian akal. Tapi dalam pandangan Islam, akal tidaklah otak, tetapi daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang sebagai digambarkan dalam al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Tuhan.1
Akal dalam istilah mempunyai makna yang bermacam-macam dan banyak digunakan dalam kalimat majemuk, dibawah ini macam-macam akal, antara lain:
1. Akal instink: Akal manusia di awal penciptaannya, yakni akal ini masih bersifat potensi dalam berpikir dan berargumen.[6]
2. Akal teoritis: Akal yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang ada dan tiada (berkaitan dengan ilmu ontology), serta dalam hal tindakan dan etika mengetahui mana perbuatan yang mesti dikerjakannya dan mana yang tak pantas dilakukannya (berhubungan dengan ilmu fiqih dan akhlak).
3. Akal praktis: Kemampuan jiwa manusia dalam bertindak, beramal dan beretika sesuai dengan ilmu dan pengetahuan teoritis yang telah dicerapnya .
4. Akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang dikenal dan niscaya diterima oleh semua orang karena logis dan riil.[7]
5. Juga akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang pasti dalam membentuk premis-premis argumen dimana meliputi proposisi badihi (jelas, gamblang) dan teoritis.[8]
6. Akal substansi: sesuatu yang non materi dimana memiliki zat dan perbuatan.
Tentu yang kita maksudkan dalam pembahasan akal disini adalah akal yang berfungsi dalam argumentasi dan burhan dimana didasarkan atas proposisi-proposisi yang pasti dan jelas, sehingga nantinya dapat diketahui bahwa pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pasti dan filosofis (argumentasi filsafat) tidak memiliki kontradiksi dengan doktrin-doktrin suci agama.
b. Panca Indera
Pengertian Indera sendiri adalah alat fungsi yang vital atau yang dibutuhkan oleh setiap manusia sesuai dengan batasan-batasannya. Dalam hal ini manusia mengenal 5 Panca Indera, yaitu : Indera Peraba (Tangan), Indera Pengecap (Lidah), Indera Penglihat (Mata), Indera Penghisap Oksigen / Pembuang Karbondioksida (Hidung0 dan Indera Pendengar (Telinga).
Indera adalah salah satu alat untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan. Firman Allah SWT : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut Ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberikanmu pendengaran, Penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur (QS, 16:78).
Dalam satu ayat diatas dijelaskan bahwa ada satu kegaiban dan keajaiban yang dekat pada manusia. Manusia mengetahui fase-fase pertumbuhan janin, tetapi manusia tidak mengetahui bagaimana jalannya proses perkembangan janin yang terjadi dalam rahim itu sehingga mencapai kesempurnaan.
Dalam proses ini terdapat rahasia hidup yang tersembunyi, Allah Ta’ala mengeluarkan manusia dari rahim ibu,... pada waktu itu ia tidak dapat mengetahui apa-apa. Allah telah memberikan potensi pada setiap manusia berupa kemampuan-kemampuan untuk mempergunakan inderanya, dan dengan alat yang diberikan Allah kepada manusia inilah, manusia mulai dapat mengenal alam fisik dilingkungannya, sebagai kelengkapan dari kedua indera ini Allah juga telah pula memberikan hati ata kadang disebut dengan budi (af-idah) atau sering disebut juga (fu’ad).
c. Wahyu
Secara etimologi “wahyu” berarti isyarat, bisikan, ilham, perintah. Sedangkan menurut termonologi berarti nama bagi sesuatu yang disampaikan secara cepat dari Allah kepada Nabi-Nabi-Nya.
Dalam pengertian lain, wahyu berasal dari kata arab Al-Wahyu, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Di samping itu juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara sembunyi-sembunyi dan dengan cepat. Tentang penjelasan cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan oleh Al-Qur’an sendiri.
Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam al-Qur’an. Salah satu ayat menjelaskan :
(51: ى روشلا)
Artinya : Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Q.S Al-Syura : 51)
Jadi ada tiga cara :
1. Melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham
2. Dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa
3. Melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat di hati sanubari. Dalam tassawuf dikenal tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi dapat melihat Tuhan dengan kalbunya dan dapat pula berdialog dengan Tuhan. Adanya komunikasi antara orang-orang tertentu dengan Tuhan bukanlah hal yang ganjil. Oleh karena itu adanya dalam Islam wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW, bukanlah pula suatu hal yang tidak dapat diterima akal.4 Maka yang diwahyukan dalam Islam bukanlah hanya isi tetapi juga teks Arab dari ayat-ayat sebagai terkandung dalam al-Qur’an.
Dengan lain kata yang diakui wahyu dalam Islam adalah teks Arab di rubah susunan kata / diganti kata sinonimnya, itu tidak lagi wahyu. Soal akal dan wahyu, yang menjadi pegangan bagi ulama-ulama adalah teks wahyu dalam bahasa Arab dan bukan penafsiran atau terjemahan, yang diperbandingkan adalah pendapat akal dengan teks Arab dari al-Qur’an.
4.2 Karakteristik Wahyu, Potensi Indera Dan Pentingnya Akal
a. Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari tuhan, Pribadi nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
b. Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa iengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.
c. Wahyu itu adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku.
d. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
e. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
f. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan.
g. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
4.2.2 Potensi Indera
a. Indera Eksternal, atau yang biasa dikenal dengan panca indera,.. dimana denga indera ini pengamatan dan eksperimen dapat dilakukan.
b. Intelektual, atau biasa disebut dengan rasio (logika), .. dan tentunya yang tidak dikotori dengan sifat-sifat buruk yang menguasai kehendak-kehendak dan khayalan-khayalan, serta bebas dari peniruan buta (taqlid).
c. Inspirasi, Hal ini berada diluar nalar kemampuan manusia, Karena datangnya atau kehadirannya bisa begitu saja datang atau secara tiba-tiba saja terbesit didalam benak kita (tanpa proses pembelajaran).
Ketiga potensi tersebut saling menunjang antara yang satu dengan yang lainnya. Indera untuk mengamati atau observasi terhadap gejala-gejala alam, kemudian Ratio untuk berfikir tentang rahasaia dibalik fenomena alam yang beraneka ragam, dan imajinasi untuk mengembangkan hasil-hasil penemuannya yang diperolehnya itu, selanjutnya diolah, diteliti lebih lanjut dan kemudian diterapkan menjadi teknologi.
a. Akal menurut pendapat Muhammad Abduh adalah sutu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.
b. Akal adalah tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya, peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
c. Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.
4.3 Kekuatan Akal dan Wahyu
a. Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
b. Mengetahui adanya hidup akhirat.
c. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat.
d. Mengetahui wajibnya manusia mengenal tuhan.
e. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
f. Membuat hukum-hukum mengnai kwajiban-kwajiban itu.
a. Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Membuat suatu keyakinan pada diri manusia
c. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
d. Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.
4.4 Batasan Akal, Indera dan Wahyu
Tak dapat diragukan dan dipungkiri bahwa akal memiliki kedudukan dalam wilayah agama, yang penting dalam hal ini menentukan dan menjelaskan batasan-batasan akal, sebab kita meyakini bahwa hampir semua kaum muslimin berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif. Para filosof Islam dalam hal ini juga berusaha menjelaskan batasan antara akal dan syariat (hukum-hukum agama). Al-Kindi (lahir 185 H), filosof Islam pertama yang mendalami filsafat dan terlibat dalam penerjemahan karya-karya filsafat adalah tokoh yang sangat memperhatikan masalah tersebut. Dia berupaya menerangkan kesesuaian akal dan wahyu, antara filsafat dan syariat. Menurut keyakinan dia, jika filsafat adalah ilmu yang mendalami hakikat-hakikat realitas sesuatu, maka mengingkari filsafat identik mengingkari hakikat sesuatu, yang pada akhirnya menyebabkan ketidaksempurnaan pengetahuan. Oleh sebab itu, tidak ada kontradiksi antara agama dan filsafat. Dan jika terdapat kontradiksi secara lahiriah antara wahyu dan pandangan-pandangan filsafat, maka cara pemecahannya adalah melakukan penafsiran dan ta’wil terhadap teks-teks suci agama. Metode ini dilanjutkan dan diteruskan oleh Al-Farabi.
Al-Farabi juga berpandangan bahwa agama dan filsafat sebagai dua sumber pengetahuan yang memiliki satu hakikat. Dia menafsirkan kedudukan seorang Nabi dan filosof, berdasarkan empat tingkatan akal teoritis, dimana Nabi adalah akal musthafa (akal yang paling tinggi) dan seorang filosof adalah akal fa’âl (akal aktif), jadi perbedaan nabi dan filosof sama dengan perbedaan kedua akal tersebut, akal musthafa lebih tinggi dari akal aktif. Perlu kita ketahui, dikalangan filosof Islam akal aktif tersebut ditafsirkan sebagai malaikat Jibril as atau ruhul qudus dalam agama Islam.
Ibnu Sina membagi dua filsafat yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Poin penting dalam pandangan Ibnu Sina tentang hubungan akal dan wahyu adalah pandangannya tentang dasar pembagian filsafat praktis dimana berpijak pada syariat Ilahi. Ibnu Sina berkata, ” … maka filsafat praktis dibagi menjadi (al-hikmah al –amaliyyah) yaitu pengaturan negara (al-hikmah al-madaniyyah), pengaturan keluarga (al-hikmah al-manziliyyah), dan akhlak dan etika (al-hikmah al-khulqiyyah), ketiga bagian ini didasarkan pada syariat Tuhan dan kesempurnaan batasan-batasannya dijelaskan dengan syariat serta pengamalannya sesudah manusia memperoleh pengetahuan teoritisnya terhadap undang-undang dan rincian pengamalannya.”
Sebagaimana kita saksikan dalam perkataan Ibnu Sina tersebut bahwa dia memandang sumber dan dasar pembagian-pembagian filsafat praktis berpijak pada syariat Tuhan dan dia juga memandang bahwa batas-batas kesempurnaan pembagian tersebut ditentukan oleh syariat.
Pandangan-pandangan para filosof Islam tersebut menjelaskan tentang wilayah dan batasan akal terhadap wahyu, dimana akal menentukan dan mendefenisikan hal-hal universal yang berhubungan dengan pandangan dunia agama, dan adapun hal-hal yang bersifat terperinci dan pengamalannya ditentukan oleh agama itu sendiri. Tujuan agama dan kemestian manusia untuk beragama serta penentuan agama yang benar dibebankan pada kemampuan akal. Akal tidak memahami masalah-masalah seperti dari mana manusia datang, tujuan hakiki kehadiran dia, cara dia berterima kasih kepada Pencipta, kemana manusia setelah meninggal, dan bagaimana bertemu Tuhannya, tetapi akal manusia memahami bahwa pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh agama (dalam pengertian khusus) dan bukan tanggung jawab serta diluar kemampuan akal pikiran manusia.
Oleh karena itu, secara umum manusia menyaksikan bahwa masalah-masalah tersebut merupakan batasan dan wilayah agama, dan hanya agama yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Secara rinci, akal tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan demikian, untuk memperoleh jawaban secara mendetail dan terperinci dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tak ada cara lain selain merujuk kepada agama dan syariat suci Tuhan.
Konklusi dari pembahasan ini adalah akal memiliki kemampuan dalam membangun argumentasi yang kokoh tentang pandangan dunia agama, tetapi akal tak mampu memahami secara partikular dan mendetail batasan dan tujuan hakiki agama. Oleh sebab itu, manusia harus merujuk kepada agama dan syariat yang diturunkan Tuhan lewat Nabi-Nya.
Mengenai fungsi ini dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariyah dan fungsi terkecil dalam faham mu’tazilah. Bertambah besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam suatu aliran, bertambah kecil daya akal dalam aliran itu. Sebaliknya bertambah sedikit fungsi wahyu dalam suatu aliran, bertambah besar daya akal pada aliran itu. Akal, dalam usaha memperoleh pengetahuan, bertindak atas usaha dan daya sendiri dan dengan demikian menggambarkan kemerdekaan dan kekuasaan manusia. Wahyu sebaliknya, menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu diturunkan Tuhan untuk menolong manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.
Secara umum dapat dipahami, bahwa indera merupakan salah satu alat untuk memeroleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam sebuah pengamatan, yaitu hasil dari tanggapan dari indera terutama mata terhadap suatu objek tertentu, sehingga menimbulkan kesan pada akal (nalar) tentang pengertian. Dalam hal ini hanyalah indera pendengaran dan penglihatan yang merupakan alat utama yang membantu seseorang dalam memperoleh pengetahuan akan dunia fisik.[14]
V. ANALISA DAN KRITIK
Pengetahuan merupakan satu nilai yang digunakan oleh Allah SWT untuk menempatkan seseorang dalam suatu kedudukan atau derajat yang lebih tinggi dari orang yang lain. Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT memberikan penjelasan tentang hal ini di sebuah ayat yang artinya, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (Qs.39 ayat 9).
Pengetahuan pada hakekatnya bersumber pada Allah SWT, seperti yang diisyaratkan Allah ta’ala di dalam Al-Qur’an yang artinya, “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (Al-Isra.85). Namun, bila dijabarkan lebih lanjut, pengetahuan itu diberikan kepada manusia lewat proses dengan melalui tiga sarana atau sumber perantara. Bahwa dalam pandangan kaum penganut filsafat materialisme, sumber ilmu pengetahuan adalah hal-hal materi yang hanya bias ditangkap oleh pancaindra dan masalah-masalah rasional yang eksistensinya bisa dilogikakan oleh akal. sedangkan pengetahuan-pengetahuan ghaib, tidak dapat diketahui, kecuali melalui informasi yang diberikan oleh Allah ta’ala melalui wahyu-wahyu yang diberikan kepada para rasul
Akal, Indera dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga menghasilkan budi pekerti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda rasulullah SAW.
Semua aliran juga berpegang kepada wahyu , dalam hal ini yang terdapat pada aliran tersebut adalah hanya perbedaan dalam intrpretasi. Mengenai teks ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, perbedaan dalam interpretasi inilah, sebenarnya yang menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu tentang akal, Indera dan wahyu. Hal ini tak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam bidang hukum Islam atau fiqih.
Semua aliran juga berpegang kepada wahyu , dalam hal ini yang terdapat pada aliran tersebut adalah hanya perbedaan dalam intrpretasi. Mengenai teks ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, perbedaan dalam interpretasi inilah, sebenarnya yang menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu tentang akal, Indera dan wahyu. Hal ini tak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam bidang hukum Islam atau fiqih.
Bahwa akal manusia hanya mampu memahami sesuatu yang dapat diidentifikasi oleh pancaindra dan sesuatu yang dapat dirasionalisasikan oleh akal, sedangkan pengetahuan-pengetahuan ghaib, tidak dapat diketahui, kecuali melalui informasi yang diberikan oleh Allah ta’ala melalui wahyu-wahyu yang diberikan kepada para rasul. Pendapat ini dimotori kelompok Al-Asy’ariyah, yang dipelopori oleh ‘Ali ibn Muhammad Al-Asy’ari, beliau lahir di Basrah 873 M dan wafat di Bagdad 935 M.
Allah menciptakan panca indera, namun kemampuan panca indera hanya terbatas pada hal-hal yang materi, itupun hanya terbatas pada hal-hal yang berada di sekitarnya. Selebih dari itu panca indera tidak mampu berbuat banyak. Karenanya Allah ta’ala menciptakan akal bagi manusia, agar apa yang telah diterima dari panca indera dapat dikaji, ditelaah dan diuji kebenarannya oleh akal. Dengan akal manusia juga memperoleh pengetahuan-pengetahuan lain, yang tidak dapat digapai oleh panca indera, sehingga dengan hadirnya akal ini pengetahuannya bertambah.
Akan tetapi akalpun tak lepas dari ketidaksempurnaan. Seringkali apa yang dipikirkan oleh akal dan diyakini kebenarannya saat ini, pada masa yang lain hal itu terbukti salah. Yang menarik sekali, yang membuktikan kesalahan dan kekeliruan akal itu, adalah akal itu sendiri.
Kemampuan indera dan akal sangat terbatas pada pengetahuan-pengetahuan yang rasional dan dapat dirasakan oleh indera, lebih dari itu akal daj indera tidak mampu. Demikianpun dengan pengetahuan-pengetahuan yang ghaib, memasuki wilayah ini, akal ibarat tamu yang memasuki sebuah rumah, tamu yang tahu awal sebuah perjalanan tanpa tahu kemana perjalanan itu akan berakhir. Karena itu seperti yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad Abdul (Khazanah Intelektual Muslim, Nurcholish Madjid. Tulisan Abduh, Risalah Tentang Tauhid), akal membutuhkan pembimbing yang mengarahkannya ke arah yang benar. Kehadiran wahyu memberikan perannya dalam hal ini.
Betapapun hebatnya manusia sehingga dapat menguasai alam ini, pada hakikatnya tetap adalah mahluk lemah yang penuh dengan keterbatasan, untuk itu dengan kamajuan yang diperoleh hendaknya tidak untuk menyombongkan diri serta menjauhi Sang Pencipta Seluruh Alam Semesta.
Al-Qur’an bukanlah penghambat dalam pengembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi, melainkan Al-Qur’an sebagai narasumber yang dijadikan landasan berfikir oleh seorang muslim.
Al-Qur’an bukanlah penghambat dalam pengembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi, melainkan Al-Qur’an sebagai narasumber yang dijadikan landasan berfikir oleh seorang muslim.
VI. Kesimpulan
Dan jelaslah kiranya dari uraian-uraian diatas, bahwa Al-Qur’an memberikan peluang kepada manusia untuk menggunakan pengamatan dan penalarannya untuk memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Penalaran ilmiah dalam Al-Qur’an sebagai upaya untuk menarik pada suatu kesimpulan, .. adakalanya melalui kerjasama antara akal (ratio) dengan panca indera, atau hanya dengan mempergunakan daya akal dengan menghubungkan pengertian-pengertian yang terkait dengan suatu hal.
Al-Qur’an menekankan perlunya dicapai kualitas tertinggi hasil berfikir yang disebut al-haqq (kebenaran), yakni dapat ditemukan atau dibuktikannya kebenaran suatu informasi atau ajaran, teori atau hukum, maupun hikmah penciptaan dan pengaturan alam.
Seiring dengan petunjuk-petunjuk bagaimana cara berfikir yang baik, Alqur’an juga mengingatkan kesalahan-kesalahan dalam berfikir, terutama karena faktor penginderaan kita yang acapkali keliru atau terbatas kemampuannya.
Untuk itu patutlah kita menyadari betapa lemah dan terbatasnya potensi-potensi indera kita, dan begitu pula halnya dengan akal yang juga tidak mampu menangkap hal-hal diluar jangkauannya, maka satu-satunya cara adalah dengan bantuan petunjuk Alla Ta’ala berupa wahyu yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.
Dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan, wahyu memegang peranan yang sangat penting, manakala manusia biasa tidak bisa lagi mampu mengungkap kebenaran melalui pengamatan maupun penalaran, dikarenakan ada beberapa hal yang memang tidak mungkin indera atau akal dapat mengungkapkannya. Oleh karena manusia biasa tidak bisa atau tidak dapat menerima wahyu sebagaimana para Nabi dan Rasul. Maka diturunkan Al-Qur’an melalui Rasulullah S.A.W sebagai wahana konsultatif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta, cetakan kedua, 1986.
Nasution, Harun, Teologi Islam Dan Aliran Analisa Perbandingan, Jakarta; Universitas Indonesia, (UI-Press) 1986.
Al-Majid. Al-Najjar. Pemahaman Islam, PT. Remaja Rodsakarya, Bandung; 1997.
Syukur, Amin, Prof. Dr. H.M MA., Pengantar Studi Islam, Semarang, CV. Bima Sejati, 2003.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakata’ 1987.
Syafi’ie, Imam, DR. Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam Al-Qur’an. Yogyakarta, Ed.1. Cet.1. UII Press, 2000
Yunan Yusuf, M, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta; Perkasa Jakarta 1990.
Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains, (The holy Qur’an and the science of nature), Bandung, Mizan, 1991
[14] The holy Qur’an and the science of nature, Terjemahan Agoe Effendi, Mizan, Bandung, 1991, hal.83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar